Terbiasa tinggal satu atap dengan orangtua, membuat anak tidak ingin pisah dengan mereka meski sudah memiliki keluarga sendiri.
Tidak sedikit yang akhirnya membeli atau membangun rumah di jalan yang sama bahkan gerbang rumah yang sama. Pemilihan lokasinya ada yang berada di belakang, depan, atau samping rumah orangtua.
Mitos mengatakan, hal ini dianggap akan membawa sial. Benarkah begitu faktanya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sosiolog, Devie Rahmawati, masyarakat di masa lalu telah memikirkan mitigasi bencana dengan tidak memiliki tempat tinggal yang berdekatan dengan kerabat. Tetapi anggapan ini disalahartikan dan dikaitkan ke hal buruk seperti membawa sial.
"Berakar dari mitos yang berkembang dari kearifan lokal masyarakat di masa lalu. Biasanya kearifan lokal ini dikembangkan untuk mengantisipasi ancaman dan krisis," jelas Devie kepada detikProperti pada Jumat (26/01/2024).
"Agar penjelasannya lebih mudah, terima, dan mudah diyakini, maka narasi-narasi yang diciptakan kemudian berujung menjadi mitos," lanjutnya.
Padahal dari sisi sosial terdapat penjelasan rasional mengenai alasan rumah anak tidak boleh berada dekat dengan orangtua. Devie mengatakan alasan utamanya adalah untuk menghindari 'kepunahan' dalam suatu keluarga apabila terjadi bencana seperti banjir, gempa, kebakaran, dan lainnya.
"Kalau satu keluarga tinggal di satu wilayah yang sama dan kemudian ada potensi bencana. Maka peluang satu keluarga itu tersapu bencana, terjadi krisis, misalnya banjir dan gempa, itu lebih tinggi," ungkap Devie.
Devie menekankan anggapan yang semula dikaitkan dengan hal mitos ini sebenarnya memiliki pesan yang lebih penting dari sekadar membawa sial yakni sebuah peringatan.
"Bayangkan satu wilayah itu tersapu banjir, tersapu gempa. Kalau konteksnya di Jakarta contohnya kebakaran misalnya. Artinya satu keluarga bisa 'punah'. Ini yang mungkin dimaknai upaya untuk bisa memastikan keberlangsungan keturanan keluarga dengan baik. Dengan upaya merespon krisis," katanya.
Lalu untuk penerapannya di masa kini, di tengah kemajuan teknologi dan kemudahan mendapat peringatan bencana, Devie mengatakan larangan ini masih tetap relavan.
"Masih relevan di masa sekarang sebagai alarm untuk kita semua. Bukan berarti kita jadi menghindari," ujar Devie.
Justru di masa sekarang yang didukung teknologi mitigasi bencana yang lebih maju dan canggih bisa mempermudah masyarakat untuk mengevakuasi diri lebih dulu.
"Seperti kebakaran dalam konteks bencana modern lebih kepada buatan manusia, kalau kita bisa mengantisipasi lebih awal menggunakan peralatan listrik standar. Sehingga potensi listrik untuk tidak terbakar dan sebagainya bisa dikelola," katanya.
Meski disebut sebagai larangan, tetapi keputusan untuk membangun rumah dan menetapkan lokasinya, menjadi keputusan masing-masing orang. Asalkan rumah tersebut telah memperhatikan keamanan dan kesiapan menghadapi bencana alam nantinya.
"Ini menjadi pilihan masing-masing. Tetapi kearifan lokal ini menjadi penting untuk mengingatkan kita yang hidup di era sekarang bahwa dari dulu saja masyarakat tradisional sudah sangat cerdas untuk membaca potensi-potensi krisis sosial," ujar Devie.
"Tetapi bukan berarti menghambat atau tidak boleh. Tapi dari situ kita belajar ada maknanya kemudian membuat kita jauh lebih bersiap menghadapi krisis dan ancaman yang mungkin menimpa keluarga kita," lanjutnya.
(zlf/zlf)