Para Pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) meminta untuk menunda kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 0,5%. Dengan naiknya tarif PBB dinilai akan memberatkan masyarakat untuk memiliki properti, misalnya seperti rumah.
Sebagai informasi, dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah (HKPD) disebutkan bahwa tarif PBB paling tinggi sebesar 0,5%, naik dari yang sebelumnya 0,3%. Lebih lanjut, besaran tarif PBB nantinya akan ditentukan oleh pemerintah daerah.
Peraturan pelaksanaan UU HKPD ini paling lambat ditetapkan 2 tahun sejak UU ini berlaku. Salah satu daerah yang sudah mengeluarkan peraturan pelaksanaan UU HKPD adalah DKI Jakarta. Melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 disebutkan bahwa tarif PBB di DKI Jakarta sebesar 0,5%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat hal tersebut, Ketua DPP REI Joko Suranto menilai apabila setiap daerah juga menerapkan tarif PBB paling tinggi yaitu 0,5%, ini bisa berpengaruh pada biaya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Hal ini bisa menyulitkan masyarakat untuk membeli atau menjual properti.
"Kalau kita mengacu pada UU HKPD terhadap kenaikan PBB tadi maka potensi cash-outnya, tekanan untuk belanjanya sudah lebih besar," tuturnya dalam media gathering di Hutan Kota by Plataran, Kamis (25/1/2024).
Belum lagi, naiknya tarif PBB ini juga kontradiktif dengan insentif yang diberikan pemerintah berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP). Pemerintah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membeli properti, namun di satu sisi pajak yang harus dibayarkan cukup besar.
"Ketika biaya itu kaitannya adalah direct kewajiban langsung, bukan bisa ditunda dan sebagainya. Ketika transaksi, itu kan harus dibayar juga PBB-nya juga BPHTB-nya, berarti apa? Itu akan menjadi komponen cost, komponen biaya maka itu akan menjadi tekanan yang lebih besar terhadap akses membeli rumah, akses untuk transaksi, artinya UU HKPD tadi adalah disinsentif terhadap PPN DTP, jadi kontraproduktif," bebernya.
Baca juga: Rumus Menghitung Besaran PBB dan Simulasinya |
Maka dari itu, pihaknya meminta pemerintah untuk menunda dan mengkaji ulang peraturan tersebut.
"Usulan kita adalah bukan hanya ditunda, harus ada public hearing-nya dulu, harus ada penyiapan instrumen juga di pemda-nya, penyiapan kesepahaman terhadap Dispenda (dinas pendapatan daerah), sehingga ini bisa berjalan. Ketiga ini ada insentifnya juga," ungkapnya.
Harapan selanjutnya adalah komitmen pemerintah dalam sektor properti, misalnya dari segi investasi. Joko berharap pemerintah bisa berinvestasi di sektor padat karya untuk mengurangi disparitas pendapatan masyarakat.
Joko juga berharap terdapat kebijakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat agar bisa memberikan multiplier effect terhadap pendapatan masyarakat.
"Yang ketiga kebijakan yang kita harapkan adalah koordinasi dan konsolidasi itu yang dimunculkan di publik sehingga memunculkan ada growth, trusty di masyarakat, pelaku usaha bahwa di 2024 ini kita masih tetap berusaha, kita tetap fokus pengendalian atau menumbuhkan ekonomi," pungkasnya.
(abr/abr)