Gempa berkekuatan 6,8 skala Richter mengguncang Maroko pada Jumat pekan lalu (8/9/2023). Gempa ini telah menewaskan lebih dari 2.000 orang. Kekhawatiran akan robohnya rumah akibat gempa susulan membuat warga Marrakesh, sekitar 70 km timur laut dari pusat gempa, terpaksa tidur di jalanan.
Melansir Reuters, Senin (11/9/2023), gempa yang terjadi pada Jumat pekan lalu tersebut tercatat sebagai yang terparah di Afrika Utara sejak tahun 1960. Mouhamad Ayat Elhaj, warga berusia 51 tahun, bersama keluarganya mengaku terpaksa tidur di jalanan setelah mendapati tanda-tanda kerusakan di rumahnya.
"Saya tidak bisa tidur di sana. Saya meminta kepada pihak berwenang untuk membantu saya dan mengirimkan ahli untuk mengecek apakah rumah saya masih layak untuk ditinggali," ungkapnya pada Reuters.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Noureddine Lahbabi, seorang pensiunan berusia 68 tahun, juga terpaksa tidur di jalan bersama keempat anaknya. Rumah-rumah warga roboh dengan sangat menyedihkan pada malam kedua sejak gempa terjadi saat ia dan keempat anaknya sedang bersiap-siap untuk tidur.
Beberapa sudut kota bersejarah Marrakesh terpantau rusak akibat gempa. Padahal, kota ini merupakan daya tarik wisata yang populer bagi warga Maroko dan turis asing. Pada Sabtu (9/9/2023), warga Maroko dan turis asing berjalan-jalan di kota kuno ini sambil mengambil foto-foto kerusakan dan makan di restoran-restoran populer, sementara yang lain berkumpul untuk tidur di alun-alun.
Mohamed Aithadi, seorang warga keturunan Maroko-Amerika, mengatakan bahwa ia berada di alun-alun saat gempa terjadi. Ia mendesak warga Maroko untuk saling membantu mereka yang paling rentan.
"Saya sangat yakin bahwa rakyat kami, rakyat dan komunitas Maroko bisa bahu-membahu dan melewati ini semua dengan aman dan damai," katanya.
Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri, hingga Sabtu kemarin, jumlah korban tewas meningkat menjadi 2.012 orang. Sementara itu, 2.059 lainnya mengalami luka-luka.
(dna/dna)