Raksasa perusahaan properti China, Evergrande resmi ajukan kebangkrutan pada Jumat (18/8/2023). Hal itu terjadi setelah perusahaan tersebut gagal bayar utang yang sudah jatuh tempo.
Dikutip dari Reuters, saat ini Evergrande tengah mengajukan kebangkrutan Bab 15 ke Pengadilan New York Amerika Serikat. Perusahaan juga mengajukan permohonan perlindungan kebangkrutan dan restrukturisasi utang-utangnya.
Reuters menyebut, Evergrande sebagai perusahaan properti yang punya utang paling banyak dengan beban utang senilai lebih dari US$ 300 miliar. Evergrande juga disebut sebagai contoh buruk dari krisis utang negara yang belum pernah terjadi sebelumnya di sektor properti. Adapun utang tersebut senilai US$ 330 miliar atau setara dengan Rp 4.950 triliun (kurs Rp 15.000).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan bangkrutnya raksasa properti ini, apakah akan berdampak pada pasar properti di Indonesia?
Menurut Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto, dengan bangkrutnya Evergrande memang bisa mendorong sentimen yang negatif dari calon investor karena munculnya kekhawatiran kejadian itu bisa terjadi di Indonesia. Selain itu, sektor riil juga bisa mengalami sedikit tekanan.
"Para calon konsumen juga akan lebih hati-hati, para investor juga akan menahan diri dahulu untuk lebih punya waktu untuk mempelajari, memetakan sektor mana yang akan dirasa lebih aman dan sebagainya," tuturnya kepada detikcom, Sabtu (19/8/2023).
Perbankan, kata Joko, akan melakukan mitigasi risiko kreditnya. Hal ini bisa memicu terjadinya perlambatan dalam pemberian kredit kepada perusahaan properti. Walau demikian, menurutnya hal ini hanya akan terjadi dalam jangka waktu yang pendek.
Joko juga menambahkan, bangkrutnya raksasa properti China ini tidak akan berdampak langsung pada pembangunan rumah kelas menengah ke bawah di Indonesia. Sebab, permintaan akan rumah untuk kelas menengah ke bawah masih cukup tinggi, ditambah lagi dengan banyaknya keluarga baru per tahun yang mencapai 700-800 ribu.
"Untuk properti dengan nilai tertentu utamanya yang menengah ke atas itu pasti akan mendapatkan tekanan lebih besar daripada properti menengah ke bawah. Karena kalau menengah ke bawah ini kan larinya sebagai kebutuhan utama," ujarnya.
"Jadi otomatis ketika rumah tangga pertama pastinya ya mungkin 90% kan rumah yang menengah ke bawah (yang dibeli), sehingga supply atau atas kebutuhan itu secara market, secara demand-nya itu tetap terjaga meskipun ada perlambatan karena perbankan akan mitigasi lagi, mereka juga berpikir developer mana yang dirasa mereka punya kekuatan dan punya kinerja keuangan yang baik," jelasnya.
Di sisi lain, Pengamat dan Ahli Properti Steve Sudijanto menilai, bangkrutnya Evergrande ini tidak akan banyak mempengaruhi perkembangan pasar properti di Indonesia. Menurutnya, umumnya developer atau pengembang di Indonesia, khususnya bangunan apartemen di Jabodetabek lebih banyak bekerja sama dengan investor dari Singapura, Jepang, hingga beberapa negara ASEAN.
"Saya rasa tidak terdampak, karena di Indonesia banyak menarik investors dari beberapa negara-negara lain seperti Singapore, Jepang, Eropa, dan Australia," katanya kepada detikcom.
Meski demikian, ia mengakui dampak dari bangkrutnya ini akan mengalami perlambatan pembangunan proyek perusahaan properti Indonesia yang bekerja sama dengan perusahaan China. Walau demikian, menurutnya hal ini tidak akan berlangsung lama alias hanya jangka pendek saja.
"Ada beberapa proyek properti yang bekerja sama dengan investor atau developer China akan mengalami kendala untuk hal pendanaan proyek-proyek tersebut. Ada beberapa yang sudah perlambatan pembangunan," tuturnya.
(zlf/zlf)