Makin terbatasnya ketersediaan lahan bisa berimplikasi serius pada tatanan kehidupan sosial salah satunya adalah soal pemakaman. Bila ketersediaan lahan makin terbatas, jangankan hunian buat yang masih hidup, rumah 'masa depan' buat mereka yang sudah meninggal dunia juga bisa jadi tak terjangkau harganya.
Bila hal itu dianggap tak mungkin, kamu perlu membuka mata sedikit ke Hong Kong.
Hong Kong Sudah lama dikenal sebagai salah satu kota yang memiliki biaya hidup termahal di dunia. Salah satu penyumbang kemahalan itu adalah harga dan biaya sewa properti di sini yang dianggap terlalu mahal bagi kalangan orang biasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya rumah sebagai tempat singgah dan kebutuhan pribadi yang mahal, tetapi rumah 'masa depan' atau dengan kata lain pemakaman, adalah aset properti yang mahal. Bicara rumah 'masa depan' di Hong Kong jangan membayangkan liang lahat di hamparan luas area pemakaman seperti di Indonesia. Di Hong Kong, rumah 'masa depan' yang dimaksud hanya sebuah kolumbarium untuk menyimpan abu jenazah.
![]() |
Dikutip dari CNN, Jumat (4/8/2023), di Hong Kong, terdapat kolumbarium bernama Shan Sum yang memiliki harga lebih mahal dibanding rumah mewah di sekitarnya. Tempat ini memiliki 12 lantai dengan interior marmer putih berornamen dengan harga untuk penyimpanan abu jenazah yang memiliki ukuran tidak lebih besar dibanding kotak sepatu memiliki nilai setidaknya mulai dari US$ 53 ribu atau setara dengan Rp 795 Juta.
Shan Sum, yang terletak di kawasan industri tua Kwai Chung bahkan bukan tempat paling mahal di HongKong untuk orang meninggal.
Investasi ini mungkin tidak terlalu buruk bagi orang yang telah tiada, tetapi kolumbarium pribadi seperti Shan Sum tidak menawarkan tempat peristirahatan untuk selama-lamanya. Abu dapat disimpan di sana hanya selama lisensi pribadi fasilitas yang dikeluarkan oleh pemerintah Hong Kong.
Lisensi ini memiliki batas 10 tahun dan dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan pengawasan.
Akhirat ber-AC
Kolumbarium bertingkat tinggi yang dikelola secara pribadi ini, bertempat di sebuah bangunan bergelombang berbentuk kipas yang dirancang oleh arsitek Jerman, dan dapat menampung abu sebanyak 23.000 orang yang telah dikremasi sebagai tempat peristirahatan terakhir mereka.
Sebuah relung yang bisa menyimpang dua guci abu kremasi dihargai US$ 76 ribu atau setara dengan Rp 1,140 M. Sementara unit keluarga yang dapat menampung abu guci hingga delapan orang dihargai U$ 430 ribu atau setara dengan Rp 6,450 M.
Meski begitu, di Shan Sum yang memiliki arti "hati yang baik hati" ini lebih dari sekadar ruang guci yang Kamu bayar. Arsiteknya Ulrich Kirchhoff mengatakan bahwa ada atap yang dapat diakses dan balkon berliku yang dilapisi dengan taman saku untuk keluarga yang mengunjungi nenek moyang mereka, sementara sekitar seperlima dari luas bangunan adalah ruang terbuka.
Susunan bangunan ini telah dirancang dengan mempertimbangkan estetika. Tampak bangunan memiliki gelombang dan bertingkat tinggi yang dimaksudkan untuk meniru kuburan tradisional Tiongkok dan lokasi pilihan mereka di lereng gunung untuk menarik Feng Shui yang baik.
Selain itu, bangunan ini cukup modern karena memiliki penurun kelembapan dan sistem pendingin udara. Bahkan Keluarga dapat memesan slot waktu di muka untuk membawa persembahan kepada leluhur yang telah meninggal melalui aplikasi.
Menara ini dirancang oleh Margaret Zee, seorang pengusaha berusia lanjut yang menghasilkan kekayaannya di bisnis perhiasan dan perumahan yang saat ini menjalankan yayasan amal atas namanya.
"Menghormati orang mati itu penting dalam budaya China", kata Zee, dan banyak orang bersedia melakukan yang terbaik untuk menghormati tradisi tersebut.
"Perjalanan terakhir orang yang kita cintai bukan hanya agar mereka dapat menyeberang ke alam baka, tetapi juga bagi kita yang ditinggalkan di Bumi ini untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Ini bukan hanya untuk mengistirahatkan mereka, tetapi untuk memberikan kedamaian bagi mereka yang telah pergi," tambah Zee.
Zee menyadari adanya kekurangan rumah untuk menghormati orang mati ketika dia berjuang untuk menemukan tempat untuk mengadakan peringatan dan menguburkan mendiang suaminya pada tahun 2007 sehingga dia merasa harus bertindak.
Tidak Cukup Ruang untuk Hidup atau Mati
Di Hong Kong, ketidakcocokan penawaran dan permintaan yang linear telah mendorong harga perumahan membengkak sehingga mempengaruhi kolumbarium. Pada dasarnya, di kota yang berpenduduk lebih dari 7 juta orang dan termasuk lingkungan terpadat di dunia, persaingan untuk mendapatkan ruang sedang memanas baik untuk yang hidup maupun yang mati.
Meskipun Hong Kong bukanlah tempat yang kecil, luasnya sekitar 1.110 kilometer persegi, medan pegunungannya membuat sebagian besar tanahnya tidak cocok untuk pembangunan.
Dengan biaya ruang yang mahal dan memadat, pengembang properti secara tradisional memilih untuk menara bertingkat tinggi seperti gedung Shan Sum. Akibatnya, ukuran rumah rata-rata hanya 430 kaki persegi, di antara yang terkecil di dunia menurut sensus 2021,
Padatnya ruang ini jadi berlanjut hingga untuk akhir hayat yang diperburuk oleh populasi Hong Kong banyak menua dengan cepat. Menurut data sensus, lebih dari satu dari lima warga Hong Kong berusia di atas 65 tahun, dan angka itu diproyeksikan melonjak menjadi lebih dari satu dari tiga pada tahun 2069.
Cara Kematian Hong Kong
Meskipun lebih dari 90% warga Hong Kong memilih kremasi, ruang penyimpanan jenazah mereka juga hampir habis. Sebagian orang Tionghoa banyak memilih tempat fisik dibanding penyimpanan abu, di mana mereka dapat memberi penghormatan dan memberikan persembahan kepada orang mati.Dengan tingkat kematian kota yang mencapai sekitar 46 ribu per tahun dalam dekade terakhir, kapasitas guci terkadang kesulitan untuk mengimbanginya.
Saat ini hanya ada kurang dari 135.000 ceruk publik tersedia di fasilitas yang dikelola oleh pemerintah dan dapat disewa selama 20 tahun sekitar US$ 300 atau setara dengan Rp 4,5 M.
Namun, persaingan untuk mendapatkan tempat ini sangat ketat dan dalam beberapa tahun terakhir hingga sejumlah keluarga melaporkan dapat menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan tempat. Tanggapan pemerintah adalah dengan meningkatkan jumlah fasilitas umum sekaligus menyetujui izin 14 operator kolumbarium yang dikelola swasta, termasuk Shan Sum, sejak 2017.
Seorang juru bicara Departemen Kebersihan Makanan dan Lingkungan mengatakan bahwa antara tahun 2020 dan 2022, sekitar 77 ribu guci telah dialokasikan ke ceruk yang dibuat tanpa harus menunggu. Empat lokasi baru lainnya yang akan selesai pada tahun 2025 dan akan menyediakan sekitar 167 ribu unit lagi.
"Ada peningkatan yang nyata dalam pasokan relung publik selama beberapa tahun terakhir. Saat ini, pasokan relung publik sudah memadai," kata juru bicara itu.
(dna/dna)