Warga yang tinggal dan bekerja di ibu kota Jakarta punya banyak tantangan yang dihadapi. Kuhusunya dalam hal hunian. Ketersediaan yang terbatas hingga harga yang mahal jadi hambatan utama warga ibu kota memiliki hunian meski mengais rezeki di Jakarta.
Belum lagi, banyak di antara mereka yang bukan hanya harus 'menampung' keluarga inti, tetapi juga harus mengurus orang tua mereka yang sudah lansia.
Menjawab tantangan itu, Ketua Kelompok Ilmu Perumahan dan Permukiman Perkotaan Universitas Indonesia, Joko Adianto mengatakan, ada solusi bagi warga Jakarta dengan permasalahan-permasalahan di atas yakni dengan konsep hunian co-residence.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa sih itu?
Menurut Joko, co-residence adalah konsep hunian yang memungkinkan banyak anggota keluarga tinggal bersama dalam satu rumah. Konsep ini dipandang bisa menjadi salah satu solusi untuk permasalahan hunian.
"Sharing atau berbagi rumah dengan keluarga pelan-pelan akan menjadi tipe kepemilikan (hunian)," tuturnya dalam acara konferensi pers "Potensi Penyediaan Hunian di Jakarta melalui co-residence", di Intiland Tower, Jakarta, Selasa (4/7/2023).
Dalam praktiknya, co-residence ini dapat berupa hunian dengan 4 lantai, di mana tiap lantainya diisi oleh masing-masing keluarga.
Dengan cara ini, lahan yang terbatas bisa dimanfaatkan menjadi hunian layak yang bisa ditempati lebih dari satu kepala keluarga.
Secara regulasi, membangun rumah hingga 4 lantai memang diperbolehkan dan dituangkan dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 tahun 2022.
Sayangnya, aturan terkait hunian co-residence itu sendiri belum ada.
Lantas, apakah konsep hunian co-residence bisa diterapkan di Jakarta? Temukan jawabannya di halaman selanjutnya.
"Karena banyaknya batasan-batasan yang dimiliki apakah oleh kota itu sendiri, keluarga itu sendiri, sehingga ada keterpaksaan, misalnya alasan pekerjaan, penghasilan dan lainnya yang menyebabkan adanya suatu perubahan atau penambahan variasi bentuk untuk satu keluarga itu bertempat tinggal," ujarnya.
Memang, co-residence bisa-bisa saja menjadi tipe hunian baru. Namun, yang jadi permasalahan yaitu infrastruktur rumah itu sendiri.
Misalnya, rumah yang sudah ada memang dibangun hanya untuk satu lantai. Ketika rumah tersebut dibuat tingkat 2 atau lebih, maka akan ada dampak bagi hunian itu sendiri. Maka dari itu, apabila ingin membuat co-residence harus dipertimbangkan berbagai aspek, mulai dari infrastruktur bangunan, aspek lingkungan hingga aspek sosialnya.
"Jadi perlu pengkondisian dari co-residence itu yang dituangkan ke peraturan yang akan memberikan satu tipe baru (hunian), hal-hal apa yang perlu ditambahkan, diperkuat," ungkapnya.
Iwan menambahkan, hal tersebut perlu dilakukan karena co-residence ini berbeda dengan rumah susun. Sebab, bangunan rumah susun memang sudah disiapkan untuk hunian banyak orang.
Senada, Sub Koordinator Urusan Perencanaan Permukiman Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta, Sapta Satria Putra mengatakan, untuk membangun co-residence memang perlu memperhatikan berbagai faktor, terutama masalah air dan sanitasi. Untuk permasalahan air, ia mengaku pihaknya sempat mendapat catatan dari Dinas Sumber Daya Air terkait penyediaan air yang harus dilakukan dengan orientasi jangka panjang.
"Risikonya kalau sepotong-sepotong (penyediaan air), akan ada fasilitas yang tidak terpenuhi airnya. Jadi sudah bangun rumahnya, airnya belum datang, itu worst casenya seperti itu," tuturnya.