Gedung Kesenian Jakarta adalah salah satu bangunan tua peninggalan kolonial Belanda di Jakarta. Gedung ini masih berdiri kokoh di Jalan Segara, kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Bangunan berwarna putih dan berpilar itu menjadi saksi bisu kesenian di Jakarta. Dari masa ke masa, situs ini aktif digunakan untuk berbagai pertunjukan seni.
Lantas, bagaimana sejarah Gedung Kesenian Jakarta? Berikut kisahnya yang dilansir dari situs Ensiklopedia Sastra Indonesia, Senin (27/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Gedung Kesenian Jakarta
1. Semula Teater dari Anyaman Bambu
Sebelum Gedung Kesenian Jakarta berdiri, Gubernur Jenderal Belanda, Daendels membangun gedung Teater Militer Weltevreden di lahan yang sama. Bangunan itu kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jendral Inggris, Thomas Stamford Raffles bersama tentara Inggris pada tahun 1814.
Gedung berkapasitas 250 orang itu dinamakan Municipel Theatre, Schouwburg, atau lebih populer disebut Gedung Komidi. Namun, bangunan tersebut terbuat dari gedek atau anyaman bambu dan beratap alang-alang. Bahkan, orang Belanda menyebut tempat itu 'Bamboe Theater'.
Tentara Inggris menikmati pementasan tonil atau drama di gedung teater militer tersebut hingga tahun 1816. Pada tahun itu, mereka mengalami kekalahan dari Belanda, sehingga harus meninggalkan Batavia.
2. Pembangunan Ulang oleh Kolonial Belanda
Teater bambu itu pun beralih ke tangan para seniman panggung bangsa Belanda, maka terbentuklah perkumpulan teater Ut Desint pada 21 April 1817. Setelah empat tahun, para seniman membongkar bangunan dan mendirikan gedung kesenian permanen yang lebih ideal.
Gedung ini tak hanya mengangkat gengsi kota Batavia tetapi dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan. Beragam acara seperti pertunjukan, opera, musik klasik, tari dan nyanyi, serta sirkus dan sulap berlangsung hingga akhir Pemerintah Hindia Belanda.
Pembangunan dilakukan pada tahun 1820 oleh para anggota perkumpulan tonil Ut Desint. Gedung itu mengusung arsitektur bergaya Romawi dan menghabiskan biaya sekitar 60 ribu gulden. Lalu, gedung bernama Schouwburg Weltevreden atau Comidiegebouw itu diresmikan pada tanggal 7 Desember 1821.
3. Bioskop Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, gedung ini berganti nama menjadi Kiritsu Gehitrzyoo dan berubah fungsi menjadi Bioskop Dana dan City Theatre. Selain sebagai tempat pementasan tonil dan berbagai acara hiburan, gedung ini juga dipakai sebagai markas tentara Jepang. Para tentara secara halus melakukan propaganda lewat kesenian.
4. Kampus Pada Masa Kemerdekaan
Pasca Kemerdekaan Indonesia, gedung kesenian dialih fungsikan menjadi bioskop dan ruang kuliah untuk mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Seiring berjalannya waktu, nama Gedung Komidi diganti menjadi Gedung Kesenian dan digunakan secara aktif walaupun kondisinya sudah agak rusak pada masa itu.
5. Pemugaran Besar-besaran
Pada awal tahun 1970-an Gedung Kesenian sudah jarang digunakan karena ada tempat pertunjukan baru di kompleks Taman Ismail Marzuki. Lalu, pada tahun 1987 dilakukan pemugaran besar-besaran. Sampai sekarang, Gedung Kesenian Jakarta masih digunakan untuk mementaskan beragam kesenian modern maupun tradisional.
(dhw/dna)