Rumah tradisional khas Papua yaitu Rumah Honai cukup mencuri perhatian banyak orang. Pasalnya, bentuknya terbilang cukup unik karena mirip seperti jamur.
Rumah Honai atau biasa disebut Onai oleh warga setempat ini biasanya ditemukan di lembah dan pegunungan di tengah Pulau Papua. Dilansir dari laman Indonesia.go.id, Sabtu (17/2/2024), umumnya rumah ini berada di ketinggian 1.600-1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Masih banyak hal yang bisa diulik dari Rumah Honai. Berikut ini informasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal Usul Rumah Honai
Keberadaan rumah Honai ternyata sudah ada sejak dulu. Dilansir dari detikSulsel yang mengutip buku berjudul Rumah Bundar oleh Fangnania T. Rumthe pada laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dahulu, orang-orang suku Dani masih tinggal di bawah pohon-pohon besar. Jadi ketika waktu malam sudah datang, orang-orang itu merasakan kedinginan.
Belum lagi saat musim hujan, banyak orang-orang yang kehujanan dan kedinginan karena daun-daun pohon tidak dapat menahan derasnya air hujan.
Pada suatu hari, masyarakat suku Dani memperhatikan burung-burung di sekitar yang sedang membuat sarang ketika hendak bertelur. Mereka melihat burung jantan dan betina itu terbang kesana kemari untuk mengumpulkan sejumlah ranting kayu dan rumput kering. Bahan-bahan tersebut kemudian dibentuk menjadi sarang yang bulat dan menjadi tempat tinggal yang hangat untuk anak burung yang baru lahir.
Masyarakat suku Dani akhirnya juga belajar membuat rumah yang dapat melindungi mereka dari cuaca panas, dingin, dan hujan. Kemudian rumah itu dikenal dengan nama Honai, atau Onai. Dalam bahasa daerah onai artinya rumah.
Honai yang dibangun masyarakat suku Dani ini berbentuk bundar atau lingkaran persis seperti sarang burung, begitu pun atapnya yang berbentuk setengah lingkaran. Tidak ada Honai yang tidak bundar.
Jenis Rumah Honai
Sebagai informasi, ternyata rumah Honai hanya boleh dihuni oleh kaum laki-laki saja. Sementara rumah untuk kaum perempuan disebut rumah Ebei dan kandang binatang disebut Wamai. Ketiganya memang mirip, namun rumah Honai memiliki ukuran yang lebih tinggi.
Honai biasanya ditempati oleh laki-laki yang beranjak dewasa dan laki-laki dewasa. Honai juga dipakai untuk menyimpan simbol-simbol adat serta menerima tamu atau digunakan untuk pertemuan kelompok. Tak heran, ukuran Honai lebih besar daripada Ebei.
Sementara itu, Ebei biasanya ditempati untuk ibu-ibu dan anak kecil. Biasanya di dalam Ebei juga digunakan sebagai dapur. Terkadang, dapur tersebut juga dijadikan tempat tidur oleh suku Dani karena terasa hangat. Hal itu karena aktivitas memasak menggunakan kayu api di tungku. Setelah cukup hangat, api dimatikan.
Penerangan di Honai cukup dengan api yang menyala. Mereka jarang menggunakan lilin karena berisiko terjadinya kebakaran.
Proses Pembuatan Rumah Honai
Bahan-bahan yang Diperlukan
- Papan cincang, disebut papan cincang karena kedua ujung papan itu dibuat runcing seperti tombak. Ujung papan yang runcing akan ditanam ke dalam tanah. Papan cincang dimanfaatkan sebagai dinding Honai.
- Balok kayu untuk tiang tengah atau tiang utama. Tiang utama berfungsi menyangga atap Honai.
- Kayu buah untuk rangka penutup atap Honai.
- Lokop/Pinde bentuknya seperti bambu kecil panjang berfungsi sebagai alas tempat tidur.
- Rumput alang-alang sebagai atap Honai.
- Tali rotan, berasal dari akar-akar pohon, atau tanaman sulur-suluran yang berfungsi seperti tali.
Proses Pembuatan
Keluarga yang ingin membuat Honai akan mengundang kerabat atau keluarganya. Jadi selama proses pembangunan Honai, mereka akan makan bersama-sama yang disebut bakar batu.
Pertama-tama, mereka akan menggali tanah kemudian menaruh sebuah batu besar yang datar sebagai alas tiang. Setelah itu, tiang utama itu ditaruh di atas batu besar tersebut. Tujuannya, agar tiang utama itu tidak cepat lapuk karena resapan air. Kemudian tiang tersebut diletakkan di titik tengah Honai.
Selanjutnya di sekitar tiang tersebut digali tanah berbentuk lingkaran. Papan cincang yang berujung tajam ditancapkan atau ditanam mengikuti lingkaran yang sudah digali.
Sementara jarak tiang utama dengan papan cincang disesuaikan dengan luas Honai yang ingin dibuat. Kemudian setiap papan yang ditanam, harus diikat dengan tali rotan agar dinding papan dapat berdiri dengan kokoh.
Masyarakat suku Dani paling ahli dalam membentuk lingkaran Honai tanpa menggunakan jangka atau alat khusus. Konon katanya, itu merupakan kemampuan yang berasal dari hati.
Setelah tiang dan dinding Honai berdiri, selanjutnya memasang rangka atap dengan cara mengikat kayu buah pada tiang utama dan dinding Honai. Kemudian kayu buah tersebut disusun melingkar seperti payung di atas Honai.
Berikutnya alang-alang dikumpulkan kemudian diikat seperti mengikat sapu lidi untuk dipasang di atap. Lalu atap tersebut diikat di rangka atap menggunakan tali rotan. Agar tidak cepat membusuk, atap alang-alang tersebut diasapi.
Bagian alasnya, masyarakat suku Dani menganyam lokop/pinde untuk dijadikan tikar sebagai tempat tidur. Lokop/pinde adalah bahasa daerah untuk tanaman yang menyerupai rotan karena sifatnya yang lentur, namun pada bagian dalamnya berongga seperti bambu.
Proses akhirnya, masyarakat suku Dani membuat tungku api di dalam Honai. Tungku api tersebut berfungsi sebagai penghangat atau sekaligus untuk membakar ubi.
Sementara untuk mencegah air hujan masuk ke dalam Honai, mereka membuat saluran air di sekeliling Honai. Dan Honai ini dapat digunakan selama 4-5 tahun.
Arsitektur Rumah Honai
Arsitektur rumah Honai cukup unik dibandingkan rumah tradisional lainnya. Material rumah yang digunakan juga berasal dari alam sehingga ramah lingkungan.
Rumah Honai dibangun setinggi 2,5 meter dengan lantai bambu, dinding anyaman, dan atap alang-alang. Atap rumahnya dibuat menutup ke bawah yang ditujukan untuk melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak terkena air hujan sekaligus meredam hawa dingin agar tidak masuk rumah.
Hanya ada akses sebuah pintu untuk keluar-masuk dan ventilasi kecil yang aman dari masuknya binatang liar.
Meski rumah Honai terlihat mungil, ternyata di dalamnya terdapat 2 lantai dengan fungsi yang berbeda. Pada lantai pertama digunakan sebagai tempat tidur dan di lantai kedua digunakan untuk bersantai, makan, atau aktivitas keluarga lainnya.
Honai dibangun dengan minim ventilasi, sehingga sirkulasi udara kurang berjalan baik. Belum lagi, di dalam Honai juga dipakai memasak atau adanya tungku perapian, asap di dalamnya tidak keluar dengan sempurna karena minimnya ventilasi. Maka dari itu, orang yang tinggal di Honai kerap menderita sakit pada saluran pernapasan.
Seiring perkembangan zaman, Honai kini sudah memiliki jendela sebagai ventilasi. Bahkan, ada juga yang membuat Honai dari bahan batu bata karena kayu dan alang-alang tidak dapat bertahan lama.
Sementara untuk orang-orang yang memiliki pendapatan lebih, sudah mulai membangun rumah. Rumahnya tidak bundar seperti Honai, namun berbentuk persegi panjang dan mereka menyebutnya rumah panjang.
Rumah tersebut memiliki ruangan kamar untuk tidur, pintu dan juga jendela jadi lebih berkembang dan sehat. Sementara untuk dindingnya, tetap dibuat dari papan, dan atapnya menggunakan seng.
(abr/abr)