Di ibu kota Kepulauan Riau, Tanjung Pinang ada peninggalan tempat berdirinya sebuah masjid yang terletak di Pulau Penyengat. Masjid ini menjadi sebuah tempat penyimpanan peninggalan naskah kuno pengobatan hingga ilmu falak oleh Pusat Pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.
Dilansir dari detikedu, Selasa (24/10/2023), pulau ini dijadikan sebagai mas kawin pada tahun 1803 oleh Sultan Mahmud Syah untuk istrinya, Engku Putri raja Hamidah. Pada tahun 1832, sebuah masjid di Pulau Penyengat kelak dibangun atas perintah Dipertua Muda Riau VII Raja Abdurrachman Kerajaan Riau Lingga, yakni Masjid Raya Sultan Riau Penyengat
Konon pada tahun 1803 masjid ini dibangun dari kumpulan papan kayu hingga pada tahun 1832, bangunan ini dibuat menjadi lebih kuat dengan renovasi oleh seluruh masyarakat Pulau Penyengat untuk bergotong royong. Pada tahun 1844, bangunan ini dibuat lebih kuat dengan beton cor dan rampung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Uniknya pada bangunan ini menggunakan telur sebagai perekat material bangunan. Warga yang menyumbang tenaga dan logistik ini merasa telur ayam bisa digunakan agar tidak mubazir sebab telur-telur ini tak termakan.
"Dulu, banyak pekerja dari India membantu pembangunan masjid, banyak yang menyumbang telur sampai berkapal-kapal. Daripada tidak kemakan, putih telur dipakai sebagai perekat bangunan," ucap Bobby, pemandu wisata setempat.
Luas bangunan utama ini berdiri pada 18 x 20 meter dengan cat warna kuning dan hijau sebagai simbol kesejahteraan dan agama Islam. Kubah ini berbentuk bawang merah yang memiliki jumlah 13 buah dan total kubah mencapai 17 buah. Ini menjadi sebuah simbol mengenai jumlah rakaat salat sehari semalam.
![]() |
Di antara menara-menara masjid, dipajang mushaf Al-Qur'an tulisan putra Penyengat, Abdurrahman Stambul, yang diutus sultan untuk belajar di Turki pada 1867. Selain itu, pada tahun 1752 ada juga mushaf Al-Qu'ran tulisan Abdullah Al Bugisi yang tersimpan bersamaan dengan kumpulan naskah-naskah kuno di dalam lemari besar masjid yang terdapat tafsiran ayat Al-Qur'an yang tidak diketahui penulisnya.
Dahulu, balai-balai ini digunakan sebagai tempat belajar, khususnya ilmu agama. Masjid dan balai di kompleks ini dipakai oleh warga setempat untuk menunggu waktu salah, tempat peristirahatan pejalan, dan sebagai tempat berkesenian. Masjid ini juga tempat untuk anak-anak melakukan pengajian dan salat.
Ulama yang tercatat mengajar di Masjid raya Penyengat ini ada empat orang yakni, Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Ismail, Syekh Arsyad Banjar, dan Haji Shahabuddin. Kini masjid Sultan Riau telah dijadikan sebagai situs cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia.
![]() |