Believe dan Beragam Konflik Seorang Prajurit

Agus (diperankan Ajil Ditto) tumbuh di bawah didikan keras ayahnya, Sersan Kepala Dedi (Wafda Saifan), seorang veteran Operasi Seroja 1975.
Sebagian dari Anda mungkin langsung skeptis, sinis, dan apriori menilai Film 'Believe' sebagai film propaganda semata. Tentu boleh-boleh saja. Saya pun semula beranggapan demikian. Sama sekali tak tertarik, dan langsung terbayang film-film bergenre perang produksi Orde Baru seperti 'Janur Kuning' dan 'Serangan Umum 1 Maret'.
Ternyata saya keliru. Film ini beda, guys. Kalau boleh sedikit lebay, Believe ini dari sisi kemegahan sinematografi, efek suara, karakter, dan dramanya mungkin lebih mendekati 'Platoon' yang disutradarai Oliver Stone pada 1986. Suwer...
Tak heran bila sutradaranya, Rahabi Mandra dan Tri Wardhana diganjar penghargaan Best Director dalam ajang Montreal International Film, Kanada awal Juli 2025.
![]() |
Saya menyaksikan Believe bersama para alumni SMAN 8 di Djakarta Theater, Ahad (27/7/2025) sore. Mereka berkolaborasi dengan Lembaga Sensor Film yang tengah mengkampanyekan pentingnya menonton film sesuai golongan usia.
Sekitar 10 menit pertama, film menyuguhkan adegan keberangkatan para prajurit ABRI (TNI) dari berbagai kesatuan menuju Timor Timur, Desember 1975. Dalam misi bertajuk 'Operasi Seroja' itu target utamanya mengusir kelompok Falintil yang berhaluan komunis.
Banyak prajurit kita yang gugur. Sebagian meregang nyawa ditembus pelurus saat masih melayang dengan parasut di udara. Ada yang tersangkut di atas pohon, terjerembab ke sungai kering penuh bebatuan besar, atau menerobos atap rumah warga.
Baca juga: The Fantastic Four: First Steps, Marvel Bangkit Lagi!
Mereka yang berhasil menjejakkan kaki di darat harus berjibaku adu tembak dengan Falintil. Atau berduel dengan senjata tajam. Semua adegan peperangan yang begitu kejam dan tak kenal ampun, secara visual tergambarkan dengan natural.
![]() |
Demikian juga dengan dampak perang. Di film ini tak cuma dapat dilihat dari kata-kata atau aksi fisik semata, melainkan juga dari momen-momen sunyi setiap karakternya. Tak heran bila para penonton yang rata-rata sudah berusia di atas 50 tahun, ada yang menjerit, bersorak dan bertepuk tangan, bahkan memberikan standing ovation ketika film berakhir.
Bagi sang sutradara, menyiapkan setting yang mirip Timor Timur hingga penggunaan alat perang seperti KRI Teluk Amboina-503, heli "hidung pesek", serta tampilan bagian dalam pesawat Hercules C-130 dan T-138, serta Dakota C-47 menjadi tantangan tersendiri agar terlihat nyata.
Belum lagi menyangkut seragam para prajurit yang dari waktu ke waktu berubah. "Kami tentu menjahit sendiri agar mirip seragam yang untuk Operasi Seroja," kata Arwin sebelum pemutaran film.
Bagi setiap prajurit sebelum di medan laga, peperangan sesungguhnya sudah dimulai dari batinnya sendiri. Sebab dalam setiap perang sejatinya bukan hanya mereka yang berkorban, tapi juga keluarga yang ditinggalkan. Para istri, anak-anak, orang tua.
Nyali, mental, dan kesetiaan para prajurit diuji. Bertahan di rumah menemani sang istri yang hamil tua, atau menyabung nyawa demi tugas, bangsa, dan negara. Sebaliknya sang Istri apakah akan terus merengek menghalangi kepergiaan suami, atau melepas walau berat dengan iringan doa dan derai air mata.
Lalu berharap-harap cemas dengan nasib suami mereka di medan laga. Syukur bila kembali dalam kondisi sehat walafiat. Kalau tidak atau dalam kondisi tak sempurna lagi, plus gaji yang masih jauh dari cukup?
Begitulah yang terjadi dengan Serka Deddy Unadi. Sang isteri termasuk yang tak tahan menghadapi kondisi yang terjadi. Dia lalu pergi, meninggalkan suami dan beberapa anaknya, antara lain Agus Subiyanto yang baru berusia 5 tahun.
Konflik, luka dan patah hati, serta trauma masa kecil seperti itulah yang kemudian ikut mewarnai perjalanan hidup Agus. Namun kemudian dia bisa bangkit dari segala kepahitan dan kegetiran. Tak menjadikan iri hati dan under estimate dari orang lain dengan permusuhan.
Dia lebih suka membalasnya dengan menunjukkan prestasi, selain senantiasa mendekatkan diri kepada Illahi. Ora et Labora. Buku Yasin warisan sang Ayah yang berpulang karena kecelakaan lalu lintas pada 1984 selalu terselip di saku baju Agus. Di sela perang gerilya di tengah hutan Timor Timur, ia meluangkan waktu untuk membacanya.
![]() |
Paduan semua itu yang mengantar Agus seperti sekarang. Ia yang pernah ditolak saat melamar menjadi satpam toko-toko di Kota Bogor selepas SMA, justru kemudian menjadi Jenderal Bintang Empat dengan jabatan puncak: Panglima TNI sejak November 2023.
Juga terselip gambaran 'diplomasi sayuran' yang dijalankan Agus untuk meluluhkan calon ibu mertua, sekaligus gadis pujaannya saat berdinas di Garut, Evi Sophia Indra.
Lewat film ini pula penonton akan paham relasi Agus dengan Prabowo Subianto. Ia telah mengenalnya saat Presiden RI masih Komandan Bataliyon Infantri Lintas Udara 328. Ketika lulus pendidikan Kopassus, 1996, Agus kembali bertemu Prabowo yang sudah menjadi Danjen Kopassus.
Ketika Agus menjadi Komandan Paspampres dengan pangkat Mayor Jenderal, 2020-2021, Prabowo menjabat Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Relasi berlanjut hingga kini...
(jat/ass)