Detikcom Year in Review 2025

Peristiwa Penting di Dunia Musik Sepanjang 2025

Dicky Ardian
|
detikPop
Coffee Rave Ilustrasi.
Foto: iStock
Jakarta -

2025 bisa dibilang jadi salah satu tahun paling ramai buat dunia musik, bukan cuma soal rilisan dan konser, tapi juga drama, polemik, sampai gerakan sosial yang bikin industri ini ikut bergetar.

Dari festival yang harus beradaptasi dengan kondisi sosial-politik, konser-konser yang batal dadakan, kisruh royalti yang belum kelar-kelar, sampai musisi dunia yang angkat sikap soal perang dan kemanusiaan.

Ini dia rangkuman peristiwa penting di dunia musik sepanjang 2025.

1. Keramaian di Pestapora 2025

Pestapora 2025 datang dengan konsep yang agak beda dari biasanya. Tahun ini, open gate dibuka sejak pukul 8 pagi. Keputusan ini diambil buat menyesuaikan kondisi Indonesia yang lagi ramai aksi demo, supaya penonton nggak perlu pulang terlalu larut malam dan tetap aman.

Alih-alih jadi masalah, konsep "konser pagi" ini justru ngasih pengalaman baru buat penonton. Banyak yang merasa suasananya lebih segar, lebih santai, dan nggak terlalu capek seperti konser malam hari pada umumnya.

Nadia, salah satu penonton, mengaku cukup menikmati vibe nonton konser di pagi hari.

"Unik sih, masih fresh juga pagi-pagi gini," kata Nadia saat ditemui di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (5/9/2025).

"Kebetulan aku morning person, energi masih penuh-penuhnya," tutur Intan, penonton Pestapora pada kesempatan yang sama.

Di luar soal jam buka yang unik, Pestapora 2025 juga ramai dibahas karena kabar sejumlah musisi yang memilih mundur. Alasannya, ada kerja sama penyelenggara festival dengan salah satu brand yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan personal para musisi tersebut.

2. Banyak Konser Ditunda-Batal

Pestapora bukan satu-satunya yang berdampak atas memanasnya situasi sosial-politik di Indonesia pada 2025. Banyak konser dan festival musik terpaksa dibatalkan atau ditunda demi alasan keamanan bersama.

Salah satu yang paling disorot adalah konser EPIK HIGH di Mahaka Square, Jakarta Utara, yang dijadwalkan pada 31 Agustus 2025. Konser ini resmi dibatalkan karena situasi yang dianggap tidak memungkinkan oleh promotor.

Festival SAMFEST 2025 di Bekasi yang seharusnya digelar di tanggal yang sama juga bernasib serupa. Alasan keamanan kembali jadi pertimbangan utama. Hal yang sama terjadi pada konser Efek Rumah Kaca dan The Signals di August Rush Bekasi, showcase akustik Barasuara di Jakarta, hingga Localfest Bandung yang ditunda setelah kota tersebut ditetapkan siaga 1.

Paling bikin fans patah hati tentu konser reuni Peterpan The Journey Continues di Eldorado Dome, Bandung. Konser ini ditunda hanya beberapa jam sebelum dimulai, meski akhirnya konser berjalan juga di kemudian hari.

Selain itu, Maju Besar Fest 2025 di Cilacap, konser Lomba Sihir, Festival Mandalika Suka Suka, hingga Festival Under Sky of Tokyo juga ikut terdampak. Beberapa ditunda, sebagian memberi opsi refund atau pemakaian tiket di jadwal baru.

3. Drama Perjuangan Royalti dari AKSI dan VISI

Isu royalti dan hak cipta jadi topik panas sepanjang 2025. Dua gerakan yang paling sering disorot adalah VISI (Vibrasi Suara Indonesia) dan AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia). Keduanya sama-sama peduli soal nasib musisi, tapi punya pendekatan yang berbeda.

AKSI tampil lebih frontal. Lewat ketua umumnya, Piyu, mereka secara terbuka menyoroti LMKN dan bahkan menyebut pembubaran jika tidak transparan.

"Kalau gak sepakat, ya bubarkan saja LMKN. Lebih tepatnya begitu sih. Kita bukan nyari ribut, tapi minta keterbukaan. Karena ini menyangkut hajat hidup ribuan pencipta lagu di Indonesia," kata Piyu.

VISI, yang diisi nama-nama populer seperti Armand Maulana dan Ariel NOAH, cenderung lebih soft. Mereka fokus pada edukasi publik dan perbaikan sistem lewat jalur hukum, termasuk uji materiil ke Mahkamah Konstitusi soal UU Hak Cipta.

Perbedaan paling terasa ada di soal direct license. AKSI menganggapnya sah dan sesuai UU, sementara VISI mengingatkan soal dampak di lapangan, terutama buat musisi kecil dan penyanyi pemula.

Meski sering terlihat berbeda pandangan, ujungnya VISI dan AKSI punya tujuan yang sama: sistem royalti yang adil, transparan, dan bikin musisi Indonesia bisa hidup dari karyanya sendiri.

4. Jeritan Musisi sampai ke DPR

Masalah royalti belum juga benar-benar selesai di 2025. Ariel NOAH mengungkap masih ada penyanyi yang disomasi, bahkan yang sudah profesional dan legendaris.

"Penyanyi yang profesional aja masih ada yang disomasi, dua minggu yang lalu, penyanyi legendaris lagi, yang memang lagunya kita sudah tahu bahwa dari dulu dia yang nyanyiin lagu itu," kata Ariel.

Di tengah pembahasan revisi UU Hak Cipta, Ariel berharap pernyataan resmi dari AKSI soal performing rights bisa jadi penegasan hukum.

"Kita senang bahwa ada statement langsung dari pihak AKSI yang mengutarakan bahwa memang bukan penyanyi yang harus bayar (royalti) untuk performing rights," ujarnya.

Piyu dari AKSI juga menegaskan sejak awal pihaknya sepakat bahwa kewajiban bayar royalti ada di penyelenggara acara, sesuai Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025.

Meski begitu, ketidaktransparanan LMK dan LMKN masih jadi sumber masalah. Karena itu, dorongan untuk digitalisasi dan pembenahan sistem terus digaungkan.

5. Agnez Mo Vs Ari Bias

Kasus Agnez Mo dan Ari Bias jadi salah satu drama hukum paling panjang di dunia musik Indonesia. Berawal dari klaim Ari Bias yang tidak menerima royalti lagu Bilang Saja sejak 2004, konflik ini berlanjut ke somasi, gugatan perdata, hingga laporan pidana.

Pada Januari 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sempat memutus Agnez Mo bersalah dan mewajibkan bayar Rp 1,5 miliar. Namun, putusan itu dibatalkan Mahkamah Agung lewat kasasi pada Agustus 2025.

Meski begitu, konflik belum berakhir. Ari Bias kembali melayangkan gugatan baru pada November 2025, kali ini menyeret promotor konser, LMKN, dan KCI dengan tuntutan ganti rugi Rp 4,9 miliar.

"Jadi inti dari pokok gugatannya, saya sampaikan ini Penggugat menggugat Tergugat atas pelanggaran hak cipta berupa hak ekonomi dan hak moral pencipta," ujar Sunoto dari PN Niaga Jakarta Pusat.

Kasus ini jadi simbol betapa ruwetnya persoalan hak cipta dan royalti di Indonesia hingga hari ini.

6. Nuansa (Tidak) Bening Vidi Aldiano

Nama Vidi Aldiano juga terseret kasus hak cipta lewat lagu Nuansa Bening. Keenan Nasution dan Rudi Pekerti menuntut ganti rugi Rp 24,5 miliar karena Vidi diduga membawakan lagu tersebut tanpa izin selama bertahun-tahun.

Namun, setelah melalui serangkaian gugatan, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan seluruh gugatan tersebut tidak dapat diterima. Vidi pun terbebas dari ancaman ganti rugi hingga Rp 28,4 miliar.

Majelis hakim mengabulkan eksepsi dari pihak Vidi, sehingga pemeriksaan pokok perkara tidak dilanjutkan. Penggugat juga diwajibkan membayar biaya perkara.

Kasus ini jadi pengingat keras betapa sensitifnya isu hak cipta, bahkan untuk musisi yang sudah mapan sekalipun.

7. AI Musik: Alat Bantu atau Bom Waktu?

AI makin sering dipakai di industri musik, tapi juga memicu masalah hukum baru. Ari Bias menilai AI hanyalah alat, bukan biang masalah.

"Karena AI itu disediakan hanya sebagai tools, seperti main musik, ada gitar," ujar Ari Bias.

Menurutnya, kasus yang ramai pada 2025 lebih ke wanprestasi, bukan kesalahan teknologi. Salah satu contohnya adalah kasus lagu pesanan yang ternyata dibuat dengan AI, padahal perjanjiannya lagu manual.

Ari juga menyoroti belum adanya payung hukum khusus untuk karya musik berbasis AI.

"Orang pakai lagu AI sepenuhnya kan belum ada hukumnya."

Meski begitu, ia tetap melihat AI sebagai peluang besar kalau digunakan secara bertanggung jawab dan diiringi regulasi yang jelas.

8. Sign Out Spotify

Tahun 2025 juga diramaikan gelombang musisi yang cabut dari Spotify. Penyebab utamanya: investasi CEO Spotify, Daniel Ek, ke perusahaan teknologi militer berbasis AI.

Nama-nama besar seperti Deerhoof, King Gizzard & The Lizard Wizard, Massive Attack, hingga Seringai dari Indonesia ikut ambil sikap. Massive Attack bahkan menyoroti investasi senilai 600 juta Euro ke perusahaan AI militer.

"Beban ekonomi yang selama ini menekan para musisi kini ditambah dengan beban moral," tulis Massive Attack.

Musisi Indonesia seperti Seringai, Frau, dan Majelis Lidah Berduri juga ikut mundur sebagai bentuk penolakan terhadap peperangan dan genosida.

9. Musisi Lawan Israel Pakai Suara

Lebih dari 400 musisi dan label musik tergabung dalam gerakan No Music For Genocide. Mereka menarik musik dari platform streaming di Israel sebagai bentuk protes atas genosida di Gaza.

Nama-nama seperti Massive Attack, Rina Sawayama, Fontaines D.C., hingga Japanese Breakfast ikut terlibat. Aksi ini dilakukan lewat geo-blocking atau pengaturan wilayah rilis.

"Budaya memang tidak bisa menghentikan bom sendirian, tapi budaya bisa membantu menolak penindasan politik," tulis koalisi tersebut.

Gerakan ini juga terinspirasi dari aksi serupa di industri film dan sektor pekerja kreatif lainnya.

10. Tahun Duka

Di balik semua hiruk-pikuk, 2025 juga jadi tahun duka bagi dunia musik. Sejumlah musisi legendaris berpulang dan meninggalkan warisan karya yang abadi.

Nama-nama seperti Titiek Puspa, Emilia Contessa, Ricky Siahaan, Gatot Kies, Gustiwiw, Hamdan ATT, Adjie Soetama, Acil Bimbo, Ekcy Lamoh, Yaya Moektio hingga musisi dunia seperti Ozzy Osbourne, Gary "Mani" Mounfield, Jimmy Cliff, Nobuo Yamada, Perry Bamonte tutup usia pada tahun ini.

Kepergian mereka jadi pengingat musik bukan cuma soal industri, tapi juga soal jejak, kenangan, dan pengaruh yang akan terus hidup.

Halaman 2 dari 3
(dar/wes)


Simak Video "Video Kaleidoskop 2025: 10 Berita Sains dan Teknologi Terheboh"
[Gambas:Video 20detik]


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO