Ari Bias Bereaksi Terkait Putusan MK soal Hak Cipta
Berkaitan dengan ini, Ari Bias, salah satu pencipta lagu yang bergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia atau AKSI, turut bereaksi. Dalam pernyataan Ari Bias yang diterima detikcom, Selasa (23/12/2025) sebagai berikut.
Saya menghormati dan menyambut baik putusan MK. Kita ketahui bahwa putusan MK berkekuatan hukum tetap (final and binding) serta berlaku mengikat bagi semua pihak (erga omnes).
Secara substansi, saya mencatat beberapa poin krusial dari Putusan MK Perkara No. 28/PUU-XXII/2024:
1. Izin Itu Wajib: Penggunaan komersial wajib mendapatkan izin Pencipta.
2. Tanggung Jawab Bersama: Frasa 'setiap orang' dalam Pasal 23 ayat (5) dimaknai 'termasuk' penyelenggara pertunjukan. Perlu digarisbawahi, kata 'termasuk' artinya perluasan (ekstensifikasi), bukan pengalihan (substitusi) sehingga tidak menghilangkan tanggung jawab pelaku pertunjukan, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Meskipun secara teknis kewajiban pembayaran royalti dibebankan kepada penyelenggara, namun secara hukum posisi penyanyi tetap melekat dalam subjek tersebut.
3. Penguatan Direct License: Direct License adalah sah sebagaimana dimaksud pada pasal 81.
4. Pasal 23 ayat (5) yang memperbolehkan penggunaan 'tanpa izin asalkan membayar ke LMK', ditegaskan hanya berlaku bagi pencipta yang memberi kuasa ke LMK. Bagi pencipta yang memilih jalur Direct License (hak opt-out), pasal ini tidak berlaku.
5. Pidana sebagai Upaya Terakhir: Penegakan hukum mengutamakan Restorative Justice dan perdata terlebih dahulu, dengan pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir).
Putusan ini sejalan dengan apa yang pernah saya sampaikan dalam RDP di DPR RI, bahwa terbitnya Permenkum Nomor 27 Tahun 2025 dan Putusan Kasasi MA telah mengisi kekosongan hukum mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam pertunjukan musik komersial. Putusan MK kini semakin memperkuat legitimasi peraturan tersebut. Sehingga somasi hanya kepada penyanyi sudah tidak relevan lagi.
Diketahui, dalam putusan, MK menegaskan pencipta lagu yang telah menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tidak lagi bisa melarang penggunaan lagunya dalam pertunjukan. Hal ini karena kuasa pengelolaan hak pertunjukan sudah diserahkan sepenuhnya kepada LMK.
Selain itu, MK juga memperjelas siapa yang wajib membayar royalti dalam pertunjukan komersial. Tanggung jawab tersebut kini secara tegas berada di tangan penyelenggara acara, bukan penyanyi atau pelaku pertunjukan.
Penegasan ini dianggap sebagai langkah penting untuk mengakhiri praktik penafsiran yang selama ini membebani performer secara tidak proporsional.
Tak kalah krusial, MK juga menekankan sanksi pidana bukan jalan pintas dalam sengketa hak cipta. Pendekatan pidana harus menjadi ultimum remedium, alias upaya terakhir, setelah dialog, perundingan, dan jalur perdata benar-benar buntu.
(pig/dar)











































