Pertaruhan Promotor Lokal, Gak Bayar Izin Gak Ngonser

Menurut Dino, banyaknya perizinan yang diurus membuat promotor harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk menggelar sebuah pertunjukan musik. Contohnya sih mereka harus merogoh kocek untuk pemadam kebakaran (damkar).
"Kalau bicara promotor, kita itu business owner (pemilik usaha). Apa yang kita lakukan itu investasi. Ibaratnya juru bayar, apa-apa kita bayar, sampai make up-nya kita yang bayar," ujar Dino, Kamis (9/10/2025).
"Izin sampai Dinas Pertamanan itu kita bayar, damkar juga kita bayar. Kalau gak kita bayar, gak keluar tuh izin," sambungnya.
Dino yang pernah mengerjakan beberapa pertunjukan musik di luar negeri pun menjelaskan, urusan perizinan di Indonesia masih sangat banyak dan rumit, berbeda dengan negara lain yang lebih ringkas dan mudah.
"Harapannya bisa mempermudah promotor juga, karena ada 12 sampai 13 izin. Kalau bisa, diringkas jadi 3 izin, kalau bisa cuma 2 kali izin doang, izin performing rights sama izin acara," katanya.
"Kalau sampai damkar itu pakai izin juga, berat bos."
Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk perizinan, kata Dino, berdampak pada banyaknya promotor yang kesulitan membayar royalti performing rights.
Baca juga: Band Kodaline Bubar |
Dino mengatakan, sistem penagihan royalti untuk konser musik di Indonesia sejauh ini, dilakukan setelah acara selesai. Di sisi lain, promotor justru merugi dari konser yang digelar.
"Dan selama ini, ditagihnya itu selalu di ujung. Sedangkan, tahu kan tagline-nya promotor, 'tekor tapi kesohor'. Saya yakin, kalau ditanya siapapun, lebih banyak yang rugi daripada yang untung. Pasti, saya jamin," kata Dino.
"Jadi selama ini, pas rugi terus ditagih (royalti), ya berat, vendor aja gak kebayar," sambungnya.
(pig/ass)