Gairah Industri Film Indonesia Menggeliat, tapi Butuh Ini

Asep Syaifullah
|
detikPop
Cuplikan adegan dalam film animasi Jumbo.
Foto: Dok. Visinema Pictures
Jakarta - Jika Hollywood tengah sekarat maka hal berbeda justru terjadi di pasar Asia. Mereka kini tengah berkembang pesat dengan raihan-raihan dan rekor jumlah penonton, seperti yang dicetak Jumbo di Indonesia.

Sayangnya perkembangan ini belum didukung dengan penambahan jumlah layar yang memadai. Hal ini pun jadi bahasan menarik dalam diskusi panel Cannes Marche.

Linda Gozali, yang mengepalai JAFF Market, dan Angga Dwimas Sasongko, pendiri dan CEO Visinema Group, menguraikan tren terkini di pasar film Indonesia yang sedang berkembang pesat.

Gozali menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki 468 bioskop dengan 2.293 layar untuk populasi sekitar 280 juta jiwa. Jumlah tersebut setara dengan 117.750 orang per layar, dibandingkan dengan sekitar 15.000 orang per layar di Tiongkok dan Korea Selatan serta 9.000 orang di AS.

Hal ini membuat Indonesia kekurangan penonton secara signifikan meskipun raihan menakjubkan masih bisa dicapai oleh beberapa film belakangan ini. Seperti film animasi terbaru, Jumbo, dirilis selama liburan Idul Fitri dan saat ini telah mencapai hampir 10 juta tiket masuk.

"Saya pikir salah satu keuntungan pasar Indonesia adalah harga tiket (sekitar Rp 40 ribu) yang menjadikan bioskop sebagai salah satu bentuk hiburan termurah. Jadi dari sudut pandang investasi, kami melihat masih banyak ruang untuk berkembang," kata Angga dilansir dari Deadline.

Sebagai perbandingan, Frozen 2 dari Disney adalah animasi asing terbesar sepanjang masa yang dirilis di Indonesia dengan 4,2 juta penonton.

"PDB kita masih sedikit di bawah USD 5.000 dan ketika angka itu tercapai, kita dapat mengharapkan daya beli dan harga tiket meningkat, dan box office bruto akan tumbuh signifikan," terang Angga.

"Jika Jumbo memiliki jumlah penonton yang sama di Amerika Utara, film itu akan meraup USD 200 juta. Kita belum sampai di sana, tetapi kita dapat melihat potensi pertumbuhannya."

Sementara bioskop dibanjiri film horor, Angga menjelaskan bagaimana Visinema mengambil risiko dengan membuat Jumbo, sebuah film keluarga:

"Saya memberitahu bioskop bahwa jika mereka memajang Jumbo, keluarga akan datang, karena dalam beberapa tahun terakhir mereka tidak memiliki kesempatan untuk datang ke bioskop. Dan kami terbukti benar karena selama liburan Idul Fitri, pasar secara keseluruhan mencapai 14 juta penonton."

Namun, minimnya layar menjadi kendala bagi film lokal maupun asing. Para produser Indonesia biasanya bertransaksi langsung dengan tiga eksibitor utama di negara tersebut saat merilis film, karena negara ini tidak memiliki banyak distributor independen, tetapi ketiga jaringan bioskop tersebut juga memiliki perusahaan distribusi dan daftar film mereka sendiri.

Bahkan tahun lalu, pasar memiliki ratusan film yang belum dirilis.

"Jika Anda bekerja sama dengan satu studio besar di Indonesia, Anda memiliki peluang lebih baik untuk mendapatkan distribusi, tetapi perlu diingat, bahwa 300 hingga 400 film lain juga bersaing untuk mendapatkan layar," kata Gozali.

Selain itu, Denis Vaslin, CEO Volya Films yang berbasis di Rotterdam, dan kepala Hubert Bals Fund Tamara Tatishvili, berbicara tentang potensi produksi bersama dengan pasar yang berkembang pesat ini.

Vaslin bercerita tentang pengalamannya menjadi produser pendamping film garapan sineas Indonesia Mouly Surya, This City Is A Battlefield, sebuah drama sejarah yang berlatar masa kolonial Belanda, yang menjadi film penutup Festival Film Internasional Rotterdam tahun ini.

Film yang pendanaannya dihimpun selama pandemi ini juga melibatkan produser pendamping dari Singapura, Filipina, Norwegia, dan Kamboja.

"Kami bertanya kepada mereka apa yang Anda butuhkan dari kami karena Anda sudah berada dalam situasi yang rumit di banyak level, tetapi mereka membutuhkan tiga aktor Belanda. Kami juga mengerjakan beberapa VFX dan mengumpulkan dana dari Hubert Bals," jelas Vaslin.

Periscoop Film, yang didirikan oleh San Fu Maltha dan Submarine, merilis film tersebut di Belanda sekitar waktu yang sama saat dirilis di Indonesia. Vaslin bercanda bahwa Belanda seharusnya sekarang dijajah oleh Indonesia karena film tersebut memperoleh 126.000 tiket di pasar dalam negeri, dibandingkan dengan 10.000 tiket di Belanda, karena perbedaan populasi masing-masing negara yang sangat besar.

Sejak film ini dibuat, Belanda dan Indonesia telah menandatangani perjanjian produksi bersama resmi, dan semakin banyak proyek Belanda yang berencana untuk melakukan syuting di Indonesia.


(ass/pus)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO