Cerita Scarlett Johansson Dieksploitasi Hollywood di Awal Karier

Scarlett Johansson berbicara kepada Vanity Fair, tentang cerita lamanya di dunia perfilman. Dia sampai mengenang masa-masa awal berkarier, hingga meraih ketenaran berkat Lost in Translation.
Film tersebut melejitkan nama Johansson yang saat itu baru berusia 17 tahun. Tapi film itu juga membawa konsekuensi yang gak menyenangkan karena dia mulai dikotakkan dalam peran-peran sebagai simbol seks.
"Setelah Lost in Translation, setiap peran yang ditawarkan kepada saya selama bertahun-tahun hanyalah 'pacar', 'wanita lain', atau objek seks. Saya gak bisa keluar dari siklus itu," keluhnya.
"Rasanya seperti, 'Oh, sepertinya ini adalah identitas saya sekarang sebagai aktor.' Gak banyak yang bisa saya lakukan dengan peran-peran seperti itu."
Johansson juga menambahkan, para agen yang mewakilinya gak banyak membantu mengarahkan ke jenis peran yang berbeda. "Mereka hanya bereaksi terhadap norma industri. Industri ini memang sudah lama bekerja seperti itu," katanya.
Dalam wawancara tersebut, Scarlett Johansson menggambarkan masa transisi menuju kedewasaan yang kerap disalahartikan industri.
"Kamu mulai mengenal seksualitas dan daya tarikmu sebagai bagian dari pertumbuhan. Menjadi diri sendiri itu menyenangkan, mengenakan pakaian yang kamu suka, mengekspresikan diri," jelasnya.
"Tapi kemudian kamu tiba-tiba sadar dan berpikir, tunggu, saya merasa seperti sedang, saya gak mau mengatakan dieksploitasi karena itu kata yang berat. Tapi ya, semacam itu."
Mengenai pengalamannya syuting Lost in Translation, Johansson mengungkap Bill Murray, lawan mainnya dalam film tersebut, juga sedang berada dalam kondisi yang gak stabil secara emosional.
"Dia sedang menghadapi berbagai hal," katanya tanpa merinci lebih lanjut.
Dia juga menyebut belum pernah bekerja dengan aktor yang berada dalam kondisi seperti Murray sebelumnya. Tapi saat keduanya bertemu kembali awal tahun ini di balik panggung acara SNL50, suasananya jauh lebih berbeda.
"Dia adalah orang yang sangat berbeda sekarang. Saya rasa hidup telah membuatnya lebih rendah hati," ujar Johansson.
Dia juga mengonfirmasi komentarnya merujuk pada insiden di lokasi syuting film Being Mortal (2022), yang dihentikan produksinya setelah Murray melakukan tindakan yang gak pantas, mencium seorang wanita lewat masker, yang diklaimnya hanya bercanda.
"Ya, itu benar-benar buruk. Tapi saya juga tahu COVID adalah masa yang sulit baginya. Peristiwa itu akhirnya membawanya pada pertanggungjawaban atas perilakunya. Tapi tahukah kamu? Menyenangkan rasanya melihat seseorang bisa berubah," ungkapnya.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Johansson tetap menunjukkan profesionalismenya selama proses syuting. Dia mengatakan fokus pada pekerjaan adalah strategi terbaik buat bertahan dalam situasi sulit.
"Saya cukup bangga dengan bagaimana saya menangani semuanya. Saya benar-benar hanya bekerja. Itu adalah taktik yang baik buat melewati semua hal, fokus pada tujuan," katanya.
Scarlett Johansson kini bukan cuma dikenal sebagai salah satu aktris papan atas Hollywood, tapi juga sebagai sosok yang berani bersuara tentang realita kelam industri hiburan. Kisahnya menjadi pengingat di balik gemerlap layar perak, ada perjuangan buat mempertahankan martabat dan kendali atas identitas diri.
(nu2/dar)