Adolescence: Serial Terbaik Tahun Ini
EDITORIAL RATING
AUDIENCE RATING

Sinopsis:
Dua detektif, Luke Bascombe (Ashley Walters) dan Misha Frank (Faye Marsay) berbicara sebentar sebelum Bascombe mengkonfirmasi untuk melanjutkan misi. Kamera yang dari awal mengikuti wajah Bascombe kemudian bergerak mengikuti sekumpulan mobil polisi yang bergerak memasuki daerah suburban.
Tidak ada potongan gambar. Penonton akan melihat sekumpulan polisi turun dari mobil dan mendobrak sebuah rumah. Ibu pemilik rumah, Manda Miller (Christine Tremarco), berteriak panik.
Demikian juga si bapak, Eddie Miller (Stephen Graham) dan anak sulungnya, Lisa Miller (Amelie Pease). Penonton akan mendengar polisi apa yang sedang mereka lakukan di rumah tersebut.
Mereka akan menangkap orang yang dicurigai sebagai pembunuh. Kamera terus bergerak dan akhirnya kamu akan masuk ke sebuah kamar anak-anak dan melihat seorang bocah yang ketakutan setengah mati, Jamie Miller (Owen Cooper).
Ternyata dia-lah yang dicurigai sebagai pembunuh. Pertanyaan "bagaimana mungkin seorang bocah menjadi pembunuh" akan membuatmu terus mengunyah empat episode serial Adolescence, yang kemungkinan akan berakhir sebagai serial terbaik tahun ini.
Review:
Seperti Baby Reindeer tahun lalu, Adolescence muncul tanpa peringatan. Tiba-tiba dia nongol di Netflix. Tanpa promo yang menggebu atau huru-hara yang spektakuler, serial buatan Inggris ini menunjukkan taringnya.
Tidak hanya ia mempunyai tema yang sangat seksi, ia dipersembahkan dengan bungkus ambisius: semua episodenya dipersembahkan dalam satu take panjang tanpa cut. Tapi tidak seperti kebanyakan tontonan yang mencoba melakukan ini dengan mengakali teknis (biasanya terjadi hanya dalam satu setting), Adolescence membawa kita ke berbagai tempat.
![]() |
Pertanyaan berikutnya akan muncul di kepalamu: bagaimana mereka bisa melakukan ini?
Ditulis oleh Jack Thorne dan Stephem Graham sendiri, Adolescence enggan memberikan jawaban yang jelas. Ia memberikan sebuah ide tapi apa yang terjadi di layar hanya sebuah hipotesa.
Ini bukan spoiler tapi dari awal episode, pembuat Adolescence sudah memberikan bukti konkrit bahwa memang Jamie memang seorang pembunuh. Yang menjadi menarik adalah bagaimana seorang bocah yang kelihatan sekali seperti anak baik-baik bisa melakukan hal segila itu.
Masalahnya adalah baik Manda dan Eddie adalah orang tua yang baik. Mereka mendidik anak-anak mereka dengan oke. Apa yang sebenarnya dikonsumsi anak-anak ini ketika orang tua mereka tidak bersama mereka?
Adolescence memang bukan tontonan yang ringan. Kreatornya juga tidak tertarik untuk memperhalus kontennya. Bisa dibilang, semakin Adolescence berjalan, semakin horor serial ini rasanya.
Dari segi naratif, Thorne dan Graham mendesain episode-episodenya dengan cara yang paling menarik. Episode pertama adalah hari pertama setelah kejadian yang mengakibatkan nyawa seorang gadis melayang.
![]() |
Di sini penonton akan berkenalan dengan semua karakter yang diakhiri dengan sebuah kenyataan yang pahit. Episode dua mengambil setting tiga hari setelah kejadian. Alih-alih bertemu lagi dengan keluarga Miller, Thorne dan Graham membawa kita ke sekolah untuk melihat efek apa yang terjadi terhadap kasus ini terhadap murid-murid dan guru-guru sekolah tersebut.
Episode tiga mungkin adalah episode paling menyeramkan diantara semuanya. Dan ini adalah episode yang paling menyesakkan. Mengambil setting di kantor polisi tujuh bulan setelah kejadian, penonton akan melihat seberapa "sakit" sebenarnya Jamie.
Psychologist Briony Ariston (Erin Doherty) bertemu dengan Jamie dan dalam percakapan yang sama serunya dengan pertandingan bola, penonton akan melihat secara langsung seperti apa Jamie sebenarnya.
Kalau di umur 13 tahun dia bisa melakukan ini semua, apa yang bisa dia lakukan ketika dia dewasa?
Thorne dan Graham sebenarnya bisa membuat episode konklusi Adolescence dengan adegan pengadilan karena ini adalah puncak dari segala puncak. Tapi sekali lagi, mereka tidak memilih cara yang mudah.
Ia mengajak penonton untuk bertemu dengan keluarga Miller 13 bulan setelah kejadian pembunuhan itu. Seperti apa new normal mereka? Ditutup dengan salah satu adegan paling nyesek yang pernah ada, Adolescence terasa begitu menghimpit.
Keputusan sutradara Philip Barantini untuk mengeksekusi semua episodenya dalam bentuk satu shot panjang tanpa cut memang bisa terasa gimmick dan ambisius. Tapi keputusan kreatif ini tidak hanya berfungsi untuk flexing kemampuan penyutradaraannya yang luar biasa tapi ternyata juga membuat Adolescence terasa semakin menyeramkan.
Karena rasanya seperti sebuah pertunjukan teater yang sempurna, ketegangan yang ada di dalam layar menimbulkan efek yang nyata. Matamu tidak akan bisa melepaskan layar.
Tentu saja keputusan kreatif ini mengharuskan Barantini dan kawan-kawan yang terlibat dalam produksinya harus selalu presisi dalam setiap take. Tidak hanya semua aktor dan figuran harus berada di tempatnya sesuai yang diinginkan sutradara, kamera harus bisa bergerak bebas mengawasi setiap manusia yang ada di dalamnya.
![]() |
Bahkan yang ada di ujung layar tersebut. Keputusan kreatif ini juga mengharuskan setiap aktornya untuk selalu in the moment. Dan Adolescence sangat piawai dalam memilih aktor-aktornya karena tidak ada satu pun yang cacat dalam berakting.
Ashley Walters sebagai detektif sanggup menunjukkan kehangatan tanpa mengurangi ketegasannya dalam bekerja sama sekali. Erin Doherty akan membuatmu menangis di akhir episode tiga. Stephen Graham begitu meyakinkan sebagai seorang bapak yang benar-benar terkejut oleh kelakuan anaknya.
Owen Cooper sebagai Jamie Cooper akan membuatmu kaget terutama saat mendengar bahwa ini adalah karya perdananya dalam berakting. Tidak ada satu pun momen dimana kamu tidak percaya dengan aktingnya.
Adolescence mungkin bukan hiburan yang akan membuatmu tertawa senang. Tapi ini bukan sekedar tontonan penting. Adolescence adalah sebuah pengingat dan warning yang harus ditonton oleh semua orang.