Jakarta - Ada beberapa judul film yang cukup menyita perhatian pada tahun ini dan mendapatkan lima bintang dari redaksi detikpop. Film-film ini dianggap berhasil menghadirkan sebuah hiburan yang berbeda dan juga menginspirasi penonton serta sineas untuk karya-karya selanjutnya.
Berikut film-film terbaik versi detikpop:
1. Anatomy of a Fall
Cuplikan adegan Messi sebagai Snoop di Anatomy of a Fall (2023). Foto: Dok. Le Pacte |
Anatomy of a Fall, peraih penghargaan tertinggi Cannes Film Festival tahun lalu dan juga kontender Best Picture Oscar tahun ini (menang di Original Screenplay). Dari awal film dibuka, Anda akan tahu bahwa hubungan pasangan suami istri ini tidak fungsional.
Justine Triet menulis skrip film ini bersama Arthur Harari dengan kecerdasan diatas rata-rata. Anatomy of a Fall adalah semua hal yang diinginkan banyak penonton. Karakter yang tiga dimensional yang ditempatkan dalam situasi yang tidak biasa.
Fakta bahwa film ini berani mencampur-campur genre tapi tidak ada satu pun yang timpang membuktikan bahwa eksplorasi Triet berhasil. Anatomy of a Fall menggunakan genre drama pengadilan untuk mengeksploitasi hubungan ini.
Anda mungkin tergerak untuk menyaksikan film ini untuk melihat siapa sebenarnya yang menyebabkan kematian Samuel, tapi Triet bersama Harari menggunakan genre ini untuk membedah soal banyak hal.
Pada akhirnya, pertanyaan siapakah yang membunuh Samuel menjadi tidak penting. Triet menjelaskan dengan jelas sepanjang film bahwa dua orang ini mempunyai alasan yang kuat untuk membuat salah satu mereka berakhir di atas salju. Dan ternyata, ketidakjelasan itu menjadi salah satu alasan kenapa Anatomy of a Fall menjadi salah satu drama yang sangat berkesan.
2. Monster
Cuplikan adegan dalam film Monster (2024). Foto: Dok. Ist |
Menyaksikan film Hirokazu Kore-eda artinya bersiap untuk menerima kepahitan hidup yang dipersembahkan dengan cara paling sederhana. Film-film Kore-eda tidak pernah berusaha untuk pamer. Gambar-gambarnya selalu tenang, musiknya mengiringi perlahan.
Secara plot, peristiwa yang muncul tidak pernah berlebihan. Tapi pengalaman menontonnya selalu seperti berada di tengah badai emosi. Kore-eda selalu berhasil membuat saya terhenyak dan film terbarunya, Monster, bukan pengecualian.
Ditulis oleh Yuji Sakamoto (yang memenangkan skrip terbaik di Cannes Film Festival tahun lalu), film ini membagi ceritanya melalui tiga mata. Mata pertama adalah dari seorang ibu bernama Saori Mugino (Sakura Ando, kembali berkolaborasi dengan Kore-eda setelah Shoplifters yang mengharu biru) yang menemukan anak laki-lakinya, Minato (Soya Kurokawa), bertingkah tidak seperti biasanya.
Dalam Monster, keputusan untuk membagi cerita ini dalam tiga perspektif menjadi terasa penting dan tidak terasa pretensius sama sekali. Dengan tiga perspektif yang berbeda ini, penonton diajak untuk melihat peristiwa dari mata yang sangat berbeda.
Di sinilah detil cerita menjadi potongan puzzle yang penting. Dan dalam konteks cancel culture, hal-hal inilah yang kerap kali menjadi alasan kenapa kita sebagai masyarakat gampang untuk memberikan penghakiman tanpa melihat gambar yang seutuhnya.
Skrip dari Yuji Sakamoto yang memang cemerlang tadi kemudian diterjemahkan dengan begitu menawan oleh Kore-eda yang semakin fasih dalam mengeksploitasi emosi penonton. Kore-eda selalu tahu cara mengarahkan aktor, terutama pemain anak-anaknya.
3. Exhuma
Kim Go Eun dalam Film Exhuma Foto: Dok. Showbox |
Menjadi film Korea Selatan terlaris pada tahun ini, tentunya membuat Exhuma layak masuk dalam jajaran film terbaik 2024.
Exhuma begitu mengikat ketika penonton disajikan dengan beberapa penampakan yang mengasyikkan. Bagian vital yang membuat paruh pertama Exhuma terasa begitu mencekik adalah bagaimana Jang Jae- hyun mempermainkan penonton. Ia tidak pernah menampilkan sosok hantu seperti kebanyakan film horor.
Ia menampilkan momok ini dari refleksi kaca dan bayangan. Hal ini membuat gambar yang ada di layar terasa lebih menyeramkan dari biasanya. Sayangnya hal ini tidak diteruskan ketika Jang Jae-hyun menampilkan monster yang menjadi cerita utamanya.
Tidak hanya itu, misteri dan mitologi yang menjadi fokus paruh kedua film ini juga tidak semenarik atau semenggigit bagian pertamanya. Begitu film berakhir, rasanya seperti menonton dua film yang berbeda. Rasanya seperti menonton dua episode pertama sebuah serial televisi.
Meskipun begitu Exhuma tetap asyik untuk ditonton karena Jang Jae-hyun tahu bagaimana menciptakan atmosfer yang ngeri. Ia mempunyai kemampuan yang menakjubkan dalam menggambarkan dunia perdukunan yang terasa otentik.
4. Women From Rote Island
Cuplikan adegan dalam film Women From Rote Island. Foto: Dok. Bintang Cahaya Sinema |
Women From Rote Island mungkin bicara banyak soal pelecehan seksual yang bisa menimpa wanita maupun pria. Namun entah kenapa justru daya tarik dalam film ini terasa lebih kuat pada sosok Linda Adoe yang berperan sebagai Orpa, seorang ibu dengan dua anak perempuan.
Sebagai sosok ibu dalam rumah tanpa seorang pria di sana, Orpa digambarkan sebagai sosok yang sangat kuat. Meski harus menghadapi kenyataan pahit jika putri sulungnya kini mengalami depresi berat menjadi korban pelecehan seksual, ia pun tetap menjaganya. Bagaimana adegan ia menyisir rambut dan memeluk kala Martha mulai ketakutan mengingatkan saya pada sosok ibu.
Meski ini adalah film pertama Linda Adoe, namun ia berhasil menampilkan akting yang cukup menawan. Ia seolah menjadi nyawa dari film ini, hal itu pun sudah terlihat dari 20 menit awal film.
Women From Rote Island memang menjadi wadah untuk para 'debutan'. Tak hanya diisi banyak bintang baru dari Kupang, film ini juga menjadi debut penyutradaraan Jeremias Nyangoen. Hasilnya cukup menjanjikan mengingat banyaknya penghargaan yang telah diraih film tersebut hingga menjadi wakil Indonesia untuk Oscar tahun depan.
5. How To Make Millions Before Grandma Dies
Cuplikan adegan di film How To make Millions Before Grandma Dies. Foto: Dok. GDH |
Menonton How To Make Millions Before Grandma Dies adalah bersiap untuk menangis tersedu-sedu. Film ini tidak memberikan jeda bagi penonton untuk meneteskan air mata. Jangan salah sangka, film garapan Pat Boone Ittipat ini tidak melakukan semua hal film tear-jerker pada umumnya.
Berbeda dengan film sejenisnya, How To Make Millions Before Grandma Dies tidak tertarik untuk membuat semua adegan lebih dramatis dari seharusnya. Scoringnya tidak manipulatif seperti katakanlah drama korea. Musik yang ada di belakang berfungsi hanya untuk mengatur mood. Satu hal yang membuat film ini begitu relatable bagi semua orang adalah karena cerita ini sangat sederhana. Siapapun bisa melihat mereka atau keluarga mereka di film ini.
Cerita yang mantap ini kemudian diterjemahkan dengan begitu apik oleh sutradaranya. Gerakan kameranya terbatas. Tapi justru dalam kediaman itu penonton diajak untuk menyerap semua momen yang ada. Kemampuan sutradaranya untuk merekam momen demi momen ini patut diacungi jempol karena meskipun hampir semua adegannya terlihat monoton, tapi semua adegannya begitu magnetik.
Didukung dengan permainan akting yang sangat baik, How To Make Millions Before Grandma Dies adalah sebuah drama yang harus kamu saksikan di bioskop. Film ini bukan hanya sebuah drama yang baik tapi juga sebagai pengingat bahwa salah satu harta paling berharga yang kita punya adalah koneksi kita terhadap anggota keluarga lain.
6. Inside Out 2
Cuplikan adegan dalam film animasi Inside Out 2. Foto: Dok. Pixar |
Dari semua film Pixar, Inside Out sepertinya yang paling mudah dieksplor karena manusia selalu berkembang. Tapi di saat yang bersamaan, Inside Out adalah film Pixar yang lumayan tricky untuk dibuatkan sekuelnya karena kompleksnya emosi manusia.
Film pertamanya berhasil melakukan itu dengan mudah karena kita hanya memiliki lima emosi besar. Kekhawatiran ini ternyata terbukti dalam Inside Out 2 dengan hadirnya empat emosi baru. Selain Anxiety, tidak ada emosi lain yang mendapatkan eksplorasi lebih. Sementara itu emosi yang lebih universal dirasakan oleh semua remaja di seluruh dunia, Love atau Lust, malah absen.
Penulis skrip Meg LeFauve dan Dave Holstein berusaha keras untuk memberikan semua karakter panggung. Tapi hasil akhirnya agak tidak berimbang. Film ini berusaha membahas banyak hal tapi hasil akhirnya kurang sekuat film pertamanya.
Tentu saja sebagai film Pixar Inside Out 2 masih berhasil memberikan momen yang indah, lengkap dengan klimaks yang memuaskan, tapi secara emosi film ini tidak bisa disandingkan dengan film pertamanya.
Sebagai sebuah animasi, tentu saja Inside Out 2 adalah sebuah persembahan terbaik. Pixar tidak pernah gagal dalam mempresentasikan audio visual yang memanjakan mata dan telinga. Gambarnya begitu terang benderang (yang agak begitu kontras dengan kontennya yang lumayan serius) sementara pengisi suaranya memberikan penampilan terbaik
7. The Shadow Strays
Cuplikan adegan dalam film The Shadow Strays. Foto: Dok. Netflix |
The Shadow Strays menjadi salah satu film yang dinantikan penonton pecinta adegan aksi hingga slasher. Banyak sekali adegan penuh darah yang ditampilkan oleh Timo Tjahjanto dalam durasi 143 menit.
Film ini menjadi salah satu bukti bagaimana Timo berhasil menemukan berlian di antara para aktor-aktor Tanah Air. Aurora Ribero yang lebih sering tampil di web series dan film-film drama tersebut diubahnya menjadi seorang mesin pembunuh dengan aura yang cukup menakutkan untuk didekati.
Akting memukau juga ditampilkan oleh Kristo Immanuel yang berperan sebagai Jeki. Ia menjadi ice breaker di dalam film tersebut untuk sedikit meredakan ketegangan di sana dan membawa warna lainnya yang membuat kita terhibur.
Namun Timo Tjahjanto tidak puas dengan aksi, dan salah satu aset terbesarnya sebagai sutradara aksi dan horor adalah kemampuan untuk berinvestasi dalam menciptakan karakter yang sangat disukai, memiliki kekurangan, karismatik, menyenangkan, dan jahat. Kekuatannya adalah menanamkan karakter dua dimensi dengan motivasi yang kompleks, emosi yang dalam, dan humor, serta memilih aktor terbaik untuk mewujudkan karakter tersebut.
Ada drama kemanusiaan yang nyata di balik adegan penuh kekerasan tersebut, yang membuatnya menjadi sangat relate dan menghibur untuk para penonton yang menyaksikannya
8. The Paradise of Thorns
Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns. Foto: Dok. GDH 559 |
Thailand sepertinya sedang nge-gas dengan film-film berkualitas di tahun ini. Setelah membuka dengan Not Friends lalu membuat penonton nangis di How To Make Millions Before Grandma Dies kini mereka menutup 2024 dengan film dengan target lebih niche yakni The Paradise of Thorns.
Setiap jengkal film ini menawarkan konflik yang tak berkesudahan. Ketika kamu berfikir bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa membuat layar bergetar, Naruebet Kuno menampilkan kejutan lagi yang akan membuat penonton mana pun melongo.
Mudah bagi penonton awam untuk menilai The Paradise of Thorns seperti sinetron. Asumsi ini tidak keliru. Banyak aspek dalam film ini yang terasa seperti soap opera: karakter yang saling tusuk menusuk, gaya akting yang agak berlebihan, belum lagi musik yang menggebu-gebu; memaksa semua penonton untuk merasakan pertikaian yang ada.
Yang juga menarik untuk dicatat adalah semua orang yang ada di layar paham dengan jenis film apa yang sedang mereka buat. Tidak ada satu pun dari aktor yang ada di film ini seperti salah film. Mereka semua rata bagusnya. Jeff Satur, meskipun agak kurang meyakinkan sebagai petani durian karena dandanannya lebih seperti artis film yang sedang tamasya, tahu bagaimana cara menguras emosi.
9. The Wild Robot
(from back center) Roz (Lupita N'yongo), and Brightbill (Kit Connor) in DreamWorks Animation's Wild Robot, directed by Chris Sanders. Foto: DreamWorks |
The Wild Robot serupa fabel yang manis karena menyuguhkan banyak nilai-nilai moral universal. Film animasi yang diadaptasi dari novel karya Peter Brown ini bercerita tanpa nada menggurui. Ceritanya dituturkan dengan mengalir dan asyik.
Materi bumbu komedi dalam The Wild Robot sangat fresh. Tak terkesan garing atau jayus. Saya dibuat tertawa dengan adegan anak-anak tikus yang pura-pura mati karena melihat pemangsanya. Belum lagi jokes tentang parenting yang bisa-bisanya keluar dari induk tikus.
Kualitas animasi The Wild Robot juga sangat ciamik. Gambarnya tajam, jernih dan indah seperti lukisan seorang maestro. Gerakan tokoh-tokoh animasi terasa nyata dan halus sekali.
Maka tak ada alasan untuk tidak menonton The Wild Robot bersama keluargamu. Apalagi di tengah dunia yang masih diwarnai kecamuk perang, The Wild Robot makin relevan untuk ditonton. Film animasi ini seperti pesan pengingat bahwa kebaikan tetap harus terus disemai. Tak peduli betapa kacaunya dunia.
10. Anora
Cuplikan adegan di film Anora Foto: dok film Anora |
Anora menawarkan kamu cerita Cinderella, dari kehidupan malam menjadi kaya raya. Dia menemukan pangeran tampan, Vanya yang merupakan putra dari oligarki Rusia. Vanya mempekerjakan Anora buat jadi pacarnya selama satu minggu dengan imbalan USD 15 ribu. Sebuah kesepakatan bagus yang bikin Anora menghabiskan waktu bersama Vanya dan teman-temannya.
Mikey Madison yang memerankan Anora memang patut diacungi jempol. Dia boleh dibilang cukup anyar di layar Hollywood. Peran kecilnya yang lumayan membekas saat muncul dalam film Quentin Tarantino, Once Upon a Time... in Hollywood.
Tapi di sini, Mikey Madison memberikan penampilan yang layak mendapat tepuk tangan. Kamu bakal dibuat hanyut dalam perasaan Anora, mempercayainya dan pada tahap apa pun dia gak menampilkan hati yang keras dan sinis.
Anora tahu di mana tempatnya, meski pun tersenyum, dia masih meyakinkan kamu buat mengerti isi hati sebenarnya. Apa yang terjadi selanjutnya adalah ketidaksetiaan dari Vanya yang mengerikan. Intinya, Vanya gak lebih sombong dari pria lain yang datang ke kamar pribadi Anora. Bedanya cuma dia muda, ganteng, kaya banget dan mau menikahinya.
Sean Baker, sang sutradara memang punya obsesi mengangkat cerita tentang pelacur. Dia mengeksploitasi kehidupan itu, terutama dalam Anora yang punya cerita lugas dan berotot.
Simak Video "Video 'Jurassic World: Rebirth', Mimpi Scarlett Johansson yang Jadi Nyata"
[Gambas:Video 20detik]