Menyoal Kisah Nyata Film Vina: Sebelum 7 Hari

Asep Syaifullah
|
detikPop
Vina: Sebelum 7 Hari, Film Indonesia Tayang Mei 2024
Poster film Vina: Sebelum 7 Hari. Dok. Ist
Jakarta - Fenomena film Vina: Sebelum 7 Hari menjadi perdebatan panjang apalagi kasusnya justru bergulir panas hingga saat ini. Opini publik pun terbentuk dan meramaikan media sosial dengan segala teori terkait kasus tersebut, entah setelah menyaksikan filmnya atau tidak.

Hal ini juga mengundang pertanyaan terkait bagaimana sebenarnya sebuah film itu diatur di Tanah Air, detikpop pun menghubungi ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto terkait film-film adaptasi yang diangkat dari kisah nyata dan aturan-aturannya.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Rommy mengatakan jika LSF sama sekali tak mengatur pembuatan film baik true event atau true story. Melalui Permendikbud hanya ada dua jenis film saja, apa itu?

"Penilaian atas film sebagaimana dalam Permendikbud 14 terdapat dua jenis film yg dinilai yakni film cerita dan non cerita. Film cerita merupakan film yang isinya mengandung suatu cerita. Film Non Cerita adalah film yang berisi mengenai informasi."

"Dua kategori film tersebut dalam penilaian LSF melepaskan diri dari apakah film itu fiksi dan non fiksi. Soal film Vina, LSF menilai film tersebut masuk kategori non fiksi di mana si pembuatnya menjadikan film tersebut berdasarkan kejadian dalam dunia nyata. Film non-fiksi bersifat faktual dan informatif. Sutradara film melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata dan merekam gambar sesuai apa adanya," jelas Rommy lewat pesan singkat.

Selain itu ia pun turut menjelaskan jika pembuat film memiliki hak untuk berkarya melalui filmnya tersebut, namun tetap harus disertai tanggung jawab atas karyanya setelah memperoleh STLS atau Surat Tanda Lulus Sensor.

Pengkategorian kekerasan dalam film pun ada dalam beberapa poin yang pertama adalah adegan tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, mutilasi, pembacokan secara kasar atau sejenis. Lalu manusia atau hewan yang bagian tubuhnya berdarah-darah atau terpotong, dan ketiga adalah adegan bunuh diri secara vulgar yang diambil dari jarak dekat.

Meski begitu LSF mengaku jika mereka masih memberikan kebebasan pada para sineas untuk berkarya dengan sekreatif mungkin.

"LSF tidak mengatur detail kreatifitas para pembuat film. Semua diserahkan kpd para sineas masing-masing. Yang penting harus kreatif dalam merekam adegan. Misalnya, di Permendikbud 14/2019 disebutkan yang mengandung unsur pornografi apabila menampakkan unsur ketelanjangan. Nah apabila pengadeganan bagus dan kreatif, tanpa memamerkan alat vital secara vulgar, maka itu diserahkan kepada sineasnya," pungkasnya.


(ass/dar)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO