Panggung Maestro Digelar Lagi, Tampilkan Seni Tradisi Bali-Sumatera Barat
Pagelaran seni pertunjukan tradisi Nusantara yang dipersembahkan oleh Yayasan Bali Purnati. Dewan Artistik Panggung Maestro, Endo Suanda, mengatakan Panggung Maestro adalah sebuah pernyataan dan penghormatan pada seniman yang telah mengalirkan energi seni-budaya dari para pendahulu.
"Energi adalah daya hidup, semacam sukma, yang tidak akan mati. Tapi sukma hanya ada jika raga terjaga. Kami berniat, berjanji, untuk menjadi pewaris aktif dengan memelihara dan memupuk energi itu, hingga akan lahir buah dan biji yang mendorong pertumbuhan budaya seterusnya," ungkapnya dalam keterangan pers yang diterima detikpop, Selasa (28/10).
Panggung Maestro selalu menampilkan para penari dan penggubah tari yang berusia di atas 70 tahun dan ada yang di atas 90 tahun namun tetap berkarya.
"Saya percaya bahwa setiap karya maestro menyimpan pengetahuan yang tidak tertulis-tentang cara hidup, tata rasa, hingga kesadaran spiritual terhadap alam dan manusia. Nilai-nilai ini penting untuk dibaca ulang dan dihidupkan kembali, bukan hanya dengan menonton atau mengenang, tetapi dengan melibatkan diri di dalamnya," timpal Heri Lentho, Dewan Artistik Panggung Maestro.
Dari Bali, Panggung Maestro menampilkan Gambuh Batuan atau Perang Madodoyan yang dibawakan oleh I Made Djimat (83 tahun), I Wayan Bawa (60 tahun), dan Ni Wayan Sekariani (61 tahun).
Dari Sumatera Barat, ada Asmar (82 tahun) bawakan Gondang Baroguang, Asnimar (68 tahun) dengan Tari Piriang Suluah & Tari Piriang Solok, Ernawati atau Tek E (66 tahun) dengan Dendang, M. Halim atau Mak Lenggang (63 tahun) dengan Saluang, dan Masri (71 tahun), Tari Buai-buai.
(tia/wes)











































