Review
Lakon Teater Koma 'Mencari Semar': Di Antara Robot AI dan Manusia

Di produksi terbarunya, Teater Koma hadirkan vibe modern, futuristik, namun tetap mengambil karakter Panakawan sebagai gagasan cerita. Dimulai dari pertanyaan, 'Bagaimana kalau Semar menghilang? Siapa yang memberikan nasihat?'.
Berdurasi 2,5 jam, lakon Mencari Semar dimulai dari Semar (Budi Ros) yang memutuskan buat pensiun. Di usia senjanya, ia merasa sudah selayaknya istirahat dan gak lagi jadi Dewa. Semar yang berpakaian serba putih itu hidup damai bersama istrinya dan anak-anaknya Panakawan (Bagong, Petruk, dan Gareng).
Di bumi, pertarungan antara manusia dan Robot Artificial Intellegensi (AI) menggelora. Peran keduanya saling berebutan sampai manusia musnah, tinggallah lima robot AI yang disebut dengan angka 01, 02, 03, 04, dan 05.
Kelimanya sedang bicarain teknologi robot yang harus diselamatkan. Fakta dalam sejarah, akhirnya mereka nemuin ada pusaka sakti bernama Jimat Kalimasada dalam tubuh Semar.
Kekaisaran Nimacha, sebuah peradaban futuristik yang hidup berdasarkan Perintah Utama menghadapi ancaman kepunahan akibat Perintah yang telah berkali-kali ditulis ulang.
Lima robot AI ini diutus buat menangkap Semar, tapi yang terjadi adalah mereka malah buat Semar melompat waktu. Timeline yang bertabrakan bikin masa di bumi berubah juga.
Sentilan Kritik Sosial
Teater Koma tetap mengkritik sosial politik yang ada di Indonesia. Dalam beberapa adegan, Rangga Riantiarno sebagai sutradara dan penulis naskah, menyelipkan sentilan yang jadi ciri khas Teater Koma.
Misalnya saja, saat Semar ditangkap oleh tiga Agen yang menyebut dirinya sebagai Komisi Pengawas Kedewaan (KPK). Mereka bilang, Semar melanggar Undang-Undang Dewa karena gak punya cap yang disetujui Astinapura.
"Capnya harus disetujui setiap 50 tahun," ucap Agen tersebut.
Di satu sisi, para Agen juga percaya kalau masa depan bangsa ada pada Semar. "Kalau Semar gak ketemu, kita akan hancur," ucap Agen 03.
Gak cuma itu, kritikan lainnya juga kerap disentil oleh Panakawan. Persoalan korupsi dan bangsa manusia yang gak pernah ada selesainya.
Narasi Futuristik
Sepeninggal pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno, Rangga punya gagasan tentang AI yang ngubah fungsi manusia di bumi. Tapi pentasnya dihadirkan dengan cara multimedia, modern, dan futuristik.
Unsur-unsur itu dihadirkan bukan hanya sebagai latar, tapi bagian buat ciptain pengalaman panggung yang imersif dan komunikatif. Naskah panjang pertama Rangga Riantiarno untuk Teater Koma ini berhasil mengukuhkan namanya sebagai penerus Nano Riantiarno, sang legenda dalam dunia teater Indonesia.
(tia/pus)