Cerita Pendek

Musim Peneduh Timur

Almin Patta
|
detikPop
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Pada musim peneduh timur, kala putik bunga cengkih mulai merah merekah dan menguar bau harum semerbak; kala kenari, matoa, dan rao mulai memucuk bersama; kala kawanan besar burung kakatua raja dengan kicau nyaring nan berat ramai menggoda betina di atas dahan-dahan lentur pohon bedaru, Halima dan Haji Bakar tengah menyusuri jalanan panjang berbatu untuk menemui keluarga mereka yang sedang dipaksa membuka lahan untuk bandara baru di Laha.

"Berhenti dulu sebentar, Halima, kita buka dulu perbekalan itu, makan, istirahat barang sebentar kemudian nanti kita lanjutkan perjalanan ini," kata Haji Bakar seraya menyandarkan tubuhnya ke batang pohon johar persis di tepi jalan raya penuh lubang-lubang itu.

"Berapa jauh lagi perjalanan ini, Haji?" tanya Halima setengah ngos-ngosan yang kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya ke batang pohon di samping Haji Bakar

"Masih ada sekitar dua puluhan kilo lagi. Masih sanggup kamu?"

Halima menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan sembari menatap lirih mata Haji Bakar, berkata:

"Sejauh apapun perjalanan ini, aku harus menemui bapak. Aku ingin melihatnya, juga mau menyampaikan kepadanya ibu sedang hamil sekarang ini. Kasim dan aku sudah tidak bersekolah lagi, juga rumah kami sering bocor kalau hujan badai tiba, dan masih banyak lagi yang akan aku sampaikan padanya, Haji."

"Apa yang ingin Haji sampaikan kalau bertemu dengan paman Wangsa nanti?" tanya Halima seketika membuyarkan lamunan Haji Bakar.

Agak lama Haji Bakar merenung dengan tatapan kosong ke depan. Agak-agaknya sedang sibuk menyusun kata-kata yang akan dia lontarkan menanggapi tanya Halimah.

"Haji hanya ingin melihatnya beberapa saat, menepuk pundaknya beberapa kali lalu pulang."

"Tanpa bicara satu kata pun?"

"Iya. Tanpa bicara satu kata pun."

Halima kehabisan kata-kata. Dibukanya bungkusan makanan yang tadi dibekali Ling, ibunya, lantas menikmati panganan itu tenang-tenang setelah menempuh perjalanan sepanjang dua belas kilo dari kampungnya di pesisir utara Pulau Ambon.

"Berapa umur kau sekarang, Ima?" tanya Haji Bakar

"Dua belas, Haji. Harusnya aku sudah kelas lima sekarang. Tapi aku dan Kasim malah dikeluarkan dari sekolah gara-gara kami dibilang anak seorang PKI."

Bunyi serangga hutan dari atas pokok Johar nyaring bercericau berebut makan siang.

"Tapi, apa benar bapak dan paman Wangsa juga beberapa orang kampung yang kena tangkap itu termasuk PKI, Haji?

Pikiran Haji Bakar mengawang, tenang menatapi langit biru di atas kepalanya, berkata:

"Begini, Nak, mereka itu, bahkan kita semua ini hanyalah petani-petani biasa. Sekolah pun tak sampai tamat. Tahu apa kami soal partai dan politik begitu macam?"

"Lalu kenapa bapak saya ditangkap?"

"Pernah sekali waktu, saat kau masih jadi bayi mentah seingatku. Musim kemarau sangat panjang kala itu membuat tanaman di kebun-kebun rusak, gagal panen. Bahkan tanaman-tanaman hutan semisal durian, kenari, cengkih-pala daun-daunnya pun ikut rontok semua. Sumur-sumur kering. Lalu di masa sulit begitu macam, entah ada angin apa, tiba-tiba datang segerombolan orang-orang dari kota bahkan beberapa di antara mereka ada yang datang dari Pulau Jawa juga Sumatera. Masuk ke kampung kami menawarkan bantuan pipa-pipa paralon yang banyak sekali jumlahnya. Maka dengan pipa-pipa itu jua, untuk pertama kalinya kampung kami bisa dialiri mata air jauh dari tengah hutan sana."

"Bukan hanya itu Ima, orang-orang luar biasa itu juga membagikan kepada kami pupuk dan bibit tanaman gratis kepada para petani. Kail, jala, dan alat-alat pancing untuk nelayan juga dengan cuma-cuma. Setelahnya mereka juga berjanji beberapa bulan kemudian akan datang membawa bantuan yang sama. Setelahnya nama kami lalu didata, kami dibagi berdasarkan jenis pekerjaan, maka petani seperti kami dipilah kemudian masuk ke dalam suatu kelompok bernama BTI. Sedangkan orang-orang nelayan itu dikelompokkan ke dalam organisasi Serikat Nelayan. Dan bapakmu, Ima, dipilih menjadi ketua BTI di kampung kami. Maka tak heran kalau dia menjadi salah satu orang yang paling dicari aparat. Oleh aparat, BTI dianggap membahayakan bagi negara. Orang-orangnya ditangkap tanpa proses peradilan yang jelas" tutup Haji Bakar.

Halima tak berkedip menyimak tuturan lelaki sepuh di sebelahnya. Kini mulai terang alasan bapaknya kena tangkap pada malam nahas itu. Kala azan subuh tengah berkumandang dari toa masjid Nurul Awal dan orang-orang sedang takzim dalam salat menghadap Rabb-nya, Rahman, Wangsa, juga Haji Bakar termasuk dalam jemaah salat fajar itu, yang kemudian hendak pulang ke rumah masing-masing tapi sayang, pulang pagi itu yang semestinya sampai di beranda rumah, tak pernah lunas sama sekali. Rahman dan Wangsa dicegat di tengah jalan oleh hampir satu peleton penuh aparat yang beberapa di antaranya tampak tak asing bagi keduanya yang tanpa ba-bi-bu langsung membekuk kedua pesakitan itu, dipaksa masuk ke dalam mobil Jeep dengan pukulan yang datang dari segala arah, kemudian berlalu tenang-tenang di tengah pagi berkabut itu membelah hutan sepanjang jalan Leihitu kembali ke dalam kota. Senyap. Sepi dan lengang.

Setelah menggenapkan makan siang yang lahap itu, Halima lantas membungkus ulang sisa perbekalannya, bersiap melanjutkan perjalanan. Masih ada jarak tempuh sekira dua puluh kilo lagi. Haji Bakar mendongak ke langit biru, berharap akan ada sedikit mendung pada siang hari yang terik ini untuk memberi mereka sedikit keringanan selama perjalanan. Ia basahi ujung jari telunjuknya dengan ludah, lantas mengacungkan jari syahadat itu ke langit, menerka-nerka dari mana arah datangnya raja klana. Angin datang dari utara, maka mereka harus bergegas agar tetap terus berada di bawah naungan awan yang bergerak searah mata angin.

"Nanti kalau awannya sudah tidak ada, kita lewat jalur hutan biar tidak terbakar dipanggang matahari"

Halima hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun, fokus dia menjejaki derap langkah Haji Bakar. Ini kali pertama dia menempuh perjalanan panjang begini macam. Gadis sekecil itu.

"Mungkin kita akan bertemu dengan gerombolan babi hutan. Tak usah takut, cukup diteriaki saja maka binatang itu akan lari terbirit-birit. Tapi babi hutan yang terluka lain cerita, Ima. Mereka ganas. Nanti kalau bertemu, cepat-cepat naik ke atas pohon pala"

"Kenapa pohon pala, Haji? Pohon yang lain tidak bisa?"

"Tentu semua pohon bisa Ima, tapi pohon pala lebih aman. Babi luka itu punya kebiasaan menyeruduk batang pohon. Nah, getah pala yang berwarna merah itu akan disangkanya darahnya sendiri, jadi pasti pergilah dia dari situ. Paham kau?"

"Paham, Haji. Tapi bicara soal babi, Haji tahu desas-desus yang sedang ramai di kampung tentang kopral Mus yang berubah jadi babi kemarin malam? Wate Kadir bersama Samin yang memergokinya berubah wujud di semak-semak belakang kebun singkong milik Haji Taib."

"Hus. Tidak baik membicarakan aib orang lain begitu, Ima. Hanya karena dia juga ikut menangkap bapakmu lantas kau menyimpan dendam dan menyebarkan isu yang belum tentu benar itu."

"Saya hanya mendengar begitu. Tak ada sedikit pun niat untuk memberitahunya kepada orang lain. Biar bagaimanapun dia masih paman saya. Saudara sepupunya ibu."

"Bening hatimu itu, Nak mesti tetap kau jaga sepenuh tenaga, sepenuh upaya. Seburuk apapun perbuatan orang kepada kita, jangan pernah membalasnya," tutup Haji Bakar. Halima tenang memaknai kata-kata yang sarat mengandung ilmu kehidupan itu. Sungguh perjalanan ini banyak memberikan pelajaran padanya. Mereka kini telah masuk hampir sebagian wilayah hutan. Gesekan dedaunan yang dikerjai galayut angin utara menciptakan bunyi-bunyian yang membuat damai gendang telinga. Sesekali ditimpali sahut-sahutan kawanan burung pombo putih, riuh bercericau tentang kapata-kapata tanah Maluku. Sejuk, tenang, mendamaikan. Juga agak mengandung nada lirih di penghujung harmoni karya rimba raya itu. Lalu:

"Saya pernah mendengar orang-orang itu, para tahanan yang dituduh PKI itu, kebanyakan dari mereka ditembak mati. Ada juga yang kena siksa sampai sekarat, Haji. Benar begitu? Apa bapak saya, atau paman Wangsa dan teman-teman mereka yang lain akan diperlakukan seperti itu juga?" tanya Halima seketika. Sebagaimana biasa, pertanyaan gadis kecil ini selalu berat. Entah siapa yang mengajarinya berpikir sedewasa ini.

"Haji pun pernah mendengar desas-desus seperti itu, Ima. Kita berdoa saja semoga mereka tidak sampai diperlakukan seperti itu. Lagi pula mereka cuma rakyat petani biasa. Keterlibatan mereka dengan partai itu hanya sebatas penerima bantuan pupuk saja. Masa iya dihukumi sebegitu sadisnya?"

"Memangnya seberapa bahayakah PKI itu? Sampai-sampai orang-orangnya dibunuh, dibantai sedemikian rupa? Apa benar orang-orang PKI itu tidak punya agama, Haji?"

"Paham komunis itu, Ima, ia mengajarkan tentang kesetaraan, tentang kesamarataan, juga tentang keadilan hak yang kuat dengan yang lemah, antara si kaya dengan yang miskin, antara petani kampung dan orang-orang kota di gedung-gedung. Kesemuanya memperoleh hak yang sama di mata hukum, mendapat hak yang sama sebagai warga negara, menguasai jumlah tanah dan lahan yang sama, tak ada saling sikut, tak ada saling tikung. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Begitulah cita-cita keadilan dan kesetaraan yang hendak diwujudkan...."

"Bukankah cara-cara itu baik, Haji? Lalu kenapa orang-orang dengan tujuan baik itu malah membunuh jenderal-jenderal tentara?"

"Kamu belum cukup umur untuk bisa memahami semua situasi rumit ini, Ima. Semoga kelak, jika kau sudah tumbuh besar kau pasti paham apa yang saya katakan hari ini. Namun suatu keniscayaan yang pasti terjadi jalan menuju suatu kebaikan tidak akan pernah mulus. Selalu banyak hambatan di dalamnya, menguji kita apakah akan tetap setia bahkan sampai berdarah-darah meniti jalan itu, atau justru menyerah, menyudahinya di tengah jalan. Kalah," kata Haji Bakar, lelaki baik hati itu.

Setelahnya kembali hening. Tak ada lagi yang berbicara sepanjang perjalanan menyusuri setapak kecil di dalam hutan itu. Mereka kini tiba di sebuah bukit bernama Maspait yang konon katanya menjadi tempat persinggahan pasukan patih agung Gadjah Mada dalam pengembaraannya menyatukan seluruh wilayah Nusantara.

Setelah dirasa cukup menyuplai kadar oksigen ke dalam paru-paru, rombongan kecil itu lantas melanjutkan perjalanan. Kemudian keluar di sebuah perkampungan dekat jalan raya bernama Hatiwe. Beberapa kilo lagi mereka akan sampai di Laha, di camp tahanan orang-orang yang tertuduh bahkan dipaksa mengaku menjadi PKI. Camp tahanan itu sendiri begitu luas, ada sekitar enam puluhan hektare lebih tanah lapang yang tengah dipersiapkan menjadi sebuah bandara kelas internasional. Dulu, tanah lapang luas itu dipenuhi ribuan pohon sagu yang menjadi sumber utama kebutuhan karbohidrat masyarakat di sekitar situ, kemudian ditebang semuanya oleh para tahanan, hingga bersih rata dengan tanah. Para pekerja itu dioperasikan mulai pukul enam pagi hingga pukul enam sore dengan pola makan dan pola istirahat yang berantakan bahkan tidak berperikemanusiaan.

Haji Bakar dan Halima kemudian menuju sebuah gerbang pintu masuk yang dijaga beberapa tentara berpangkat rendah. Setelah melapor diri dan menyampaikan maksud, Haji Bakar dan teman kecilnya dibiarkan menunggu di luar pagar kawat, menengadah langsung sinar matahari, menunggu dua orang pesakitan yang amat sangat dinanti kemunculannya.

Tak lama berselang, Rahman si ketua kelompok BTI kampung tiba dengan permunculan yang mengenaskan. Tubuhnya kurus kering bak batang singkong lapuk yang mulai membusuk, bola matanya besar hampir keluar lompat dari sarangnya, yang justru tak seimbang dengan kantung mata yang hitam dan dalam itu. Rahang-rahang pipinya tampak jelas menonjol keluar, ditinggal isi daging yang luruh disita keringat kerja keras setiap harinya. Rambutnya yang mulai beruban, dicukur asal, plontos dengan permukaan tak sama rata. Tak menarik sama sekali. Halima menginderai tubuh bapaknya lamat-lamat dari atas sampai bawah, kaki-kaki itu, mulai kurus dengan derap langkah yang tak teguh. Halima membuang muka, buru-buru mengusap air matanya, bertanya;

"Bapak bagaimana? Baik-baik saja kah?"

Rahman, lelaki malang itu tak menjawab, dilihatinya putri sulungnya itu dengan mata sembab berkaca-kaca.

"Ibu sekarang sedang mengandung, Bapak. Kata ibu, semoga bayi itu laki-laki. Aku dan Kasim sekarang tidak bersekolah lagi, kami dikeluarkan. Kata bapak kepala sekolah, kami berdua sekarang belajar di rumah saja, tidak perlu datang ke sekolah. Saya bertanya apa alasannya tapi dia tidak menjawab apa-apa. Lalu orang-orang bilang bapak kami PKI, itu sebabnya kami dipecat. Oh iya, atap rumah kami sekarang sudah banyak bolongnya, Bapak. Diterpa angin besar suatu malam membuat bumbungan daun sagu itu koyak lantas terbang entah. Untung besok paginya Tete Haji Bakar datang dan segera menggantinya dengan seng bekas pos kamling. Lalu dusun pala kita, bapak, tak ada lagi yang mengurusnya. Kebanyakan raib ketika saya, Kasim dan ibu hendak memanennya. Dua ekor kambing jantan itu telah ibu jual untuk beli beras dan makan kami sehari-hari. Ini ibu menitipkan beberapa lembar sarung untuk salat, satu kemeja tebal lengan panjang dan beberapa potong kaos untuk dipakai sehari-hari. Ibu juga membuatkan untuk bapak, halua kenari, sinole, dan beberapa potong ikan kuah kuning," Halima lantas menyodorkan barang-barang itu.

Rahman masih tetap menatap lirih anak gadisnya, lalu dengan ayunan tangan tak teguh, diambilnya barang-barang itu dari Halima. Setelahnya, menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukan dan menangislah dia sejadi-jadinya.

"Pulanglah, Nak, pulang. Titipkan salam bapak kepada ibu, juga pada Kasim. Bapak tidak ingin membebani jiwamu yang muda ini dengan menyaksikan bapak seperti sekarang. Pulanglah, Nak. Sampaikan pada ibu, tak perlu lagi menunggu bapak datang setiap pagi di depan pintu."

Rahman menatap dalam-dalam anak sulungnya itu kemudian menghujaninya dengan puluhan kecupan seakan-akan itu adalah kali terakhir kedua anak-bapak itu dapat bertemu.

"Ayo masuk, bangsat. Waktumu selesai," suara prajurit penjaga gerbang seketika membubarkan kehangatan mengharu-biru itu.

"Paman Wangsa di mana, Bapak?" tanya Halima sebelum Rahman dipaksa masuk kembali ke dalam camp tahanan.

"Paman Wangsa sedang sakit, Nak. Kakinya bengkak tak dapat berjalan. Ia dipaksa bekerja seminggu penuh tanpa libur. Sudah bapak sampaikan ini kepada Haji Bakar. Bapak masuk ya, jaga dirimu, ibu juga Kasim baik-baik."

Rahman lantas masuk kembali ke dalam camp diiringi tatapan sayu Halima hingga belakang punggung pria itu hilang dari pandangan.

"Ayo, Halima kita pulang sebelum hari gelap. Kita harus melewati hutan sebelum bunyi jangkrik memenuhi rimba raya," kata Haji Bakar tiba-tiba sambil merangkul pundak kecil gadis itu.

Rombongan pesiar itu kembali menapaki jalan pulang, menyusuri aspal sepanjang lima kilo untuk kemudian masuk lagi ke dalam hutan, meringkas jarak sebagaimana mereka datang. Tak banyak percakapan yang terjadi sepanjang jalan pulang itu. Yang terdengar hanya derap langkah dan embusan napas yang begitu jelas memompa udara keluar-masuk kantung paru-paru. Sesekali ditimpali samar debur suara ombak kala mereka menyusuri daerah sepanjang pantai Tawiri hingga Hatiwe yang dipenuhi barisan rapi pohon kelapa. Matahari mulai turun rendah di ufuk barat langit Amboina, memancarkan sinar yang tak lagi membuat kulit ari jadi hangus.

Setelah tiba kembali di Hatiwe, mereka lantas mengambil arah utara masuk lagi ke dalam hutan. Disambut kringkingan pembuka jangkrik dan beberapa kawanan serangga hutan, mengabarkan waktu salat asar baru saja usai. Haji Bakar mempercepat langkah kaki tanpa banyak bicara pada Halima. Tak ingin ia bersama gadis kecil itu terjebak malam di tengah hutan. Mereka memang punya alat penerang untuk jaga-jaga tapi cahaya hanya akan menarik perhatian kerumunan laron yang mungkin saja bisa mengganggu laju perjalanan.

Langkah cepat Haji Bakar berusaha diimbangi Halima. Kadang ia berlari-lari kecil apabila jarak antara keduanya semakin longgar. Mereka kini tiba di lembah sebelum bukit Maspait. Sejenak mengambil napas di bawah lingkar teduh pohon kenari.

"Kita ambil napas dulu sebentar, Ima. Sepuluh menit. Setelah itu kita lanjut lagi."

Halima mengiyakan ajakan itu dengan sekali anggukan kepala, lantas bergabung dengan Haji Bakar di bawah lingkar teduh pohon kenari. Matanya menerawang jauh ke atas, menyusuri bebatang pohon, dahan-dahannya, koloni dedaunan rimbun nan hijau itu hingga menembusi langit yang mulai menjelma merah saga. Di antara keheningan rimba raya itu Haji Bakar merogoh saku celana panjangnya, mengambil sepucuk surat, membacanya perlahan-lahan. Khusyuk meresapi kata demi kata di dalam sana.

Pandang Halima masih terpaku pada langit rekah merah saga, ia biarkan pikirannya terbawa, mengawang, membayangkan bagaimana nasibnya di masa depan. Akan jadi seperti apa dia suatu hari nanti? Mungkinkah akan dia temui seorang laki-laki yang mencintainya sebagaimana Rahman mencintai Ling, sebagaimana cintanya Ahmad kepada Binun? Aih kakek-nenek penuh sahaja itu. Semoga Allah melapangkan kubur keduanya, doanya dalam hati.

"Apa isi surat itu, Haji?" tanyanya seketika pada Haji Bakar.

"Tidak ada apa-apa, Ima. Hanya surat biasa."

"Lalu kenapa mata haji berkaca-kaca?"

Haji Bakar tak bisa mengelak, ia tertangkap basah hendak menangis. Sekuat-kuatnya ia, sewibawa dan sematang bagaimanapun, ia masihlah manusia.

"Paman Wangsa, Ima, dia telah mati dibunuh tadi malam. Baru beberapa jam lalu, sebelum kita tiba di sana."

Hening.

Di antara riuh jangkrik dan serangga hutan, Halima mendengar suara lain yang timbul-tenggelam, yang berusaha menyembunyikan isaknya di antara gegap gempita hewan-hewan di tengah hutan. Haji Bakar telah sembab matanya, menangis ia seperti anak kecil hingga air mata dan liurnya tumpah ruah tak terbendung. Patah hatinya mendapati kenyataan anak lelaki semata-wayangnya yang ingin dia jenguk hingga menempuh perjalanan panjang ini, telah meregang nyawa di ujung senapan perwira tentara.

Halima menatapnya sayu, tanpa berkata apa-apa. Lalu muncul bayangan bapaknya, Rahman, memenuhi isi kepala.

"Mari kita pulang, Haji. Ada ataupun tidak ada orang-orang kita cintai itu, perjalanan tetap harus kita lanjutkan, sebagaimana hidup ini," katanya menguatkan diri sendiri.

Gadis sekecil itu.

Almin Patta menulis dan menyutradarai beberapa naskah pementasan drama dan teater. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul 'Untuk yang Tercinta' (2023)




(mmu/mmu)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO