Penggagalan penyelundupan 19,6 ton beras dan gula pasir subsidi asal Malaysia oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI di Perairan Sei Nyamuk, Pulau Sebatik, Nunukan pada Minggu (27/4/2025), mengungkap minimnya koordinasi antara Bea Cukai Tarakan dan Bakamla.
Hingga kini, Bea Cukai mengaku belum mendapatkan informasi detail dan belum memulai penyelidikan mendalam terkait kasus tersebut. Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi Bea Cukai Tarakan, Andi Herwanto menyatakan pihaknya hanya mengetahui kasus penyelundupan ini melalui pemberitaan media.
"Kami tahu dari berita. Kronologi dan rincinya belum kami ketahui secara pasti. Yang jelas, ini hasil tangkapan Bakamla," ujar Andi saat dikonfirmasi di Tarakan, Senin (5/5/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andi menjelaskan koordinasi dengan Bakamla dilakukan saat penangkapan, namun hanya sebatas informasi awal. "Ada koordinasi saat tangkapan, tapi kami belum dapat detail. Kami tahu dari media bahwa ada penangkapan seperti ini," katanya.
Ia juga menyebut Bea Cukai belum memulai penyelidikan lebih lanjut karena keterbatasan informasi dan wewenang di wilayah perbatasan yang luas.
Penangkapan KM Lintas Samudra 07 oleh Bakamla
Penangkapan kapal KM Lintas Samudra 07 oleh Bakamla berawal dari informasi intelijen Indonesia Maritime Information Centre (IMIC), laporan masyarakat, dan sinergi dengan Satgas TNI. Kapal tersebut kedapatan membawa 500 karung beras (5 ton) dan 400 pak gula pasir (14,6 ton) tanpa dokumen resmi, seperti Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dan dokumen impor.
Kapal juga tidak dilengkapi alat komunikasi yang memadai, sehingga memperkuat dugaan aktivitas ilegal. Namun, Bea Cukai Tarakan tidak terlibat aktif dalam proses penangkapan tersebut.
Andi menyebut pengawasan di seluruh wilayah perbatasan Indonesia tidak memungkinkan dilakukan secara menyeluruh karena keterbatasan sumber daya.
"Kami fokus di kawasan kepabeanan, seperti Pelabuhan Malundung. Tidak mungkin mengawasi setiap titik keluar-masuk di Indonesia," jelasnya.
Wilayah perbatasan seperti Sebatik, yang berdekatan dengan Malaysia, dikenal rawan penyelundupan karena harga barang subsidi di negara tetangga lebih murah, sehingga menggiurkan untuk dijual di Indonesia.
Meski Bakamla menggunakan teknologi seperti Automatic Identification System (AIS) untuk melacak kapal secara real-time, Bea Cukai mengaku mengandalkan intelijen, kerja sama antarinstansi, dan patroli berbasis manajemen risiko.
"Kami lakukan patroli rutin, tapi tidak setiap hari operasi. Kalau ada informasi akurat, baru kami tindak lanjuti," ujar Andi.
Dugaan Keterlibatan Oknum Polairud
Kasus ini semakin rumit dengan adanya dugaan keterlibatan oknum Polairud sebagai pemilik kapal. Informan menyebut seseorang berinisial L yang diduga anggota Polairud, muncul saat kapal diamankan dan mengaku sebagai pemilik kapal.
Namun, Andi menegaskan soal itu bukan ranah Bea Cukai. Ia menyerahkan penyelidikan kepada instansi berwenang seperti Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KPLP) atau kepolisian.
"Kami masih lakukan penelitian soal kasus ini, tapi urusan di luar itu bukan wewenang kami," katanya.
Andi mengakui penyelundupan beras dan gula seperti itu jarang terdeteksi sebelumnya. "Selama ini belum pernah kami temukan untuk beras dan gula. Wilayah kami terlalu luas, jadi kami terapkan manajemen risiko," ungkapnya.
Bea Cukai berharap koordinasi dengan Bakamla dan instansi lain dapat diperkuat untuk mencegah kasus serupa. Namun, hingga kini, belum ada langkah konkrit yang diambil Bea Cukai Tarakan untuk menindaklanjuti penyelundupan itu.
"Kami akan terus lakukan patroli dan koordinasi, tapi detail operasional tergantung informasi dari instansi lain," tutup Andi.
(sun/des)