Jauwiru dan Suri Lemlay merupakan cerita rakyat yang mengisahkan asal-usul legenda Suku Dayak Kayan di Long Payang, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Kisah ini juga berkaitan dengan asal-usul lahirnya raja-raja Bulungan.
Kisah berpusat kepala suku yang disegani bernama Kuwanyi yang merasa gundah karena belum dikaruniai keturunan di usia senja. Namun keajaiban membuatnya memiliki dua anak, yaitu Jauwiru (Si Guntur Besar) dan Suri Lemlay.
Namun, kebahagiaan mereka harus diuji oleh sengketa warisan yang berujung pada sumpah keramat yang diucapkan oleh cucu mereka. Sumpah inilah yang menjadi penyebab terbelahnya Tanjung Long Payang dan secara tidak langsung, menjadi asal-usul garis keturunan Raja-Raja Bulungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut ini kisah Jauwiru dan Suri Lemlay yang dikutip dari buku Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kisah Jauwiru dan Suri Lemlay
Di hulu Sungai Kayan, tepatnya di anak sungai bernama Long Payang, hiduplah suku Dayak Kayan. Kepala suku mereka bernama Kuwanyi, seorang pemimpin yang disegani, dihormati, dan hidup berkecukupan berkat gotong royong anak buahnya.
Namun, di balik itu, hati Kuwanyi gelisah karena ia dan istrinya sudah lama menikah tetapi belum dikaruniai anak, padahal usia mereka semakin tua. Untuk mengobati rasa gundahnya, Kuwanyi sering pergi berburu di hutan yang saat itu masih kaya akan binatang buruan.
Ia selalu ditemani anjing kesayangannya yang sangat pandai berburu. Hasil buruannya pun selalu ia bagikan kepada anak buahnya, membuat hubungan mereka semakin akrab.
Keajaiban Bambu dan Telur
Suatu hari, kejadian aneh menimpa Kuwanyi. Sudah berhari-hari ia berburu, namun tidak ada satu pun hewan yang lewat. Tiba-tiba, anjingnya menyalak terus-menerus pada sepotong bambu. Karena bambu itu berwarna kuning indah, Kuwanyi membawanya pulang untuk dijadikan wadah alat sumpit dan menaruhnya di dekat tempayan air.
Malam harinya, saat bulan purnama, terjadi badai dahsyat dengan angin kencang dan petir yang seolah membelah bumi. Setelah badai reda, terdengar suara tangisan bayi. Kuwanyi dan istrinya terkejut menemukan seorang bayi laki-laki tampan di dekat bambu yang sudah pecah terbelah dua. Bayi itu diberi nama Si Guntur Besar atau Jauwiru.
Beberapa hari kemudian, keajaiban kembali terjadi. Saat berburu, anjing Kuwanyi menemukan sebuah telur di atas tunggul kayu. Telur itu dibawa pulang dan ditaruh oleh istrinya di atas rak. Tengah malam, telur itu menetas menjadi seorang bayi perempuan yang sangat cantik, berkulit putih kuning, dan berambut ikal. Anak perempuan itu diberi nama Suri Lemlay.
Perselisihan Warisan Keluarga
Kedua anak ajaib itu tumbuh dewasa, menikah, dan akhirnya menggantikan posisi Kuwanyi setelah ia wafat. Jauwiru memiliki anak bernama Lahay Bara. Lahay Bara kemudian memiliki dua orang anak, yaitu seorang putra bernama Si Barau dan seorang putri bernama Simun Luwan.
Masalah muncul ketika Lahay Bara meninggal dunia. Pesan terakhirnya agar dikuburkan di hilir Sungai Kipah tidak dituruti. Ia tetap dimakamkan di Long Payang. Selain itu, terjadi perebutan tiga pusaka peninggalan orang tua mereka.
Si Barau mengambil kerkapan (alat ketam padi) dan kedabang (tutup kepala perang) karena merasa sebagai laki-laki pencari nafkah dan pelindung. Simun Luwan hanya mendapatkan besairuk (dayung perempuan) sebagai lambang pengurus rumah tangga.
Simun Luwan merasa pembagian ini tidak adil. Ia menangis histeris sambil memanggil-manggil arwah kakeknya, Jauwiru Si Guntur Besar.
Sumpah Si Barau dan Terbelahnya Tanjung
Mendengar adiknya terus mengungkit nama leluhur, Si Barau menjadi marah. Ia berkata kepada adiknya.
"Simun Luwan, jika kamu merasa pembahagian waris ini tidak adil, kau bisa mengajukan keberatan, bisa kita musyawarahkan, tetapi jangan membangkit-bangkit leluhur kita yang sudah mati. Itu pantangan besar. Nanti bergerak dan tidak tenteram arwahnya di dalam kubur."
Namun Simun Luwan yang emosi menjawab, "Tidak, tidak, karena perbuatanmu yang tidak adil itulah sampai aku membangkit-bangkit nama almarhum leluhur kita."
Kemarahan Si Barau memuncak. Ia pun mengucapkan sumpah serapah.
"Jika ada turunan kakek kita Jauwiru si Guntur Besar dan nenek kita Suri Lamlay yang melewati lungun kuburan almarhum ibu kita Lahay Bara, baik mudik ataupun milir, sampai berapa turunan tidak akan selamat."
Setelah bersumpah, Si Barau menyeret dayungnya memotong tanah dari tepi sungai barat ke timur. Akibat kesaktiannya, Tanjung Long Payang putus dan hanyut terbawa arus deras sampai jauh ke hilir Sungai Kayan. Daratan yang hanyut itu kemudian dikenal sebagai Pulau Busang Mayun (pulau hanyut).
Asal Usul Raja-Raja Bulungan
Simun Luwan ikut terbawa hanyut bersama pulau tersebut beserta makam ibunya, Lahay Bara. Sementara itu, Si Barau yang merasa tidak tenang akhirnya pindah ke Sarawak, Malaysia.
Di kemudian hari, seorang bangsawan bernama Datu Muncong mendengar kabar tentang putri cantik yang tinggal di Pulau Mayun bernama Asun Luwan (anak dari Simun Luwan). Datu Muncong kemudian menikahi Asun Luwan. Keturunan dari pasangan inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Bulungan.
Hingga kini, karena sumpah Si Barau di masa lalu, para bangsawan Bulungan konon tidak berani mudik melewati makam Lahay Bara di dekat Long Pelban.
