Tradisi Nosu Minu Podi di Sanggau: Asal-usul dan Prosesinya

Tradisi Nosu Minu Podi di Sanggau: Asal-usul dan Prosesinya

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Senin, 01 Des 2025 09:36 WIB
Tradisi nosu minu podi.
Tradisi nosu minu podi. Foto: dok @diskominfosanggau
Sanggau -

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman suku dan budaya, termasuk Dayak dengan banyak subsukunya. Salah satu tradisi yang masih dijalankan adalah nosu minu podi.

Tradisi ini dijalankan oleh beberapa subsuku Dayak di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Apa itu tradisi nosu minu podi? Simak pengertian, asal-usul, dan prosesi pelaksanaan ritualnya.

Pengertian dan Asal-usul Nosu Minu Podi

Dikutip dari Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana (EFWS), tradisi nosu minu podi juga dikenal sebagai hari gawai padi, yakni perayaan syukur masyarakat Dayak selepas panen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perayaan ini dilaksanakan setahun sekali, biasanya antara bulan April hingga Juni, sebagai bentuk penghormatan kepada Penompo (Yang Kuasa) atas keberhasilan masa berladang selama satu tahun.

Bagi orang Dayak, nosu minu podi bukan sekadar pesta makan dan minum, melainkan rasa terima kasih kepada Sang Pemberi rezeki sekaligus berbagi kasih dalam jamuan bersama.

Istilah nosu minu podi berasal dari masyarakat subsuku Dayak Hibun dan Pandu di Sanggau. Tradisi serupa dijalankan subsuku Dayak lain dengan sebutan berbeda, misalnya Dayak Kanayatn menyebutnya naik dango.

Dulu, masyarakat Dayak melaksanakan ritual adat dengan menggunakan simbol bernama Ponto', yaitu patung kayu keras menyerupai manusia yang merepresentasikan Penompo. Ritual dengan Ponto' menjadi keharusan sebelum pesta gawai, karena dianggap sebagai cara menghormati semangat padi.

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Nosu Minu Podi

Dirangkum dari penelitian Tradisi Adat Nosu Minu Podi Pada Dayak Pangkodant di Desa Lape Kecamatan Kapuas oleh Edward Nanyo Singkil, dkk dari FKIP Untan Pontianak, berikut rangkaian prosesi pelaksanaan nosu minu podi:

1. Persiapan Ritual

Sehari sebelum ritual dimulai, masyarakat menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan. Peralatan seperti parang, ayam untuk kurban, beras, lemang yang dimasak dalam bambu, serta tuak yang diambil dari tempayan menjadi bagian penting dari persiapan.

Semua ini bukan sekadar benda, melainkan simbol yang akan digunakan dalam rangkaian ritual untuk memanggil semangat padi. Persiapan dilakukan dengan penuh kesungguhan, karena diyakini bahwa kelengkapan ritual menentukan keberhasilan prosesi.

2. Ritual di Ladang

Ritual inti dilaksanakan di ladang yang telah selesai dipanen, biasanya pada pagi hari seminggu sebelum pesta gawai dimulai. Tukang pomang sebagai pemimpin adat membacakan doa dengan bahasa sengiang, bahasa khusus yang hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan roh alam dan leluhur.

Doa ini bertujuan memanggil minu podi atau semangat padi agar hadir kembali. Dalam suasana khidmat, masyarakat yang ikut serta menyaksikan bagaimana roh padi dipanggil dan kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tempurung yang disebut lawak minu.

3. Penyambutan di Rumah

Setelah semangat padi berhasil dipanggil, lawak minu dibawa pulang ke rumah pemilik ladang. Di sana, keluarga yang tidak ikut ke ladang menyambut kedatangan minu podi.

Penyambutan ini menjadi tanda bahwa ritual di ladang telah selesai, sekaligus doa bersama agar keluarga yang tinggal di rumah juga mendapat berkah dari semangat padi. Kehadiran minu podi di rumah menegaskan bahwa hasil panen bukan hanya milik ladang, tetapi juga membawa kesejahteraan bagi seluruh keluarga.

4. Memasukkan ke Jurokng (Lumbung Padi)

Tahap berikutnya adalah mengantarkan lawak minu ke jurokng, yaitu lumbung padi tempat penyimpanan hasil panen. Tukang pomang kembali memimpin doa di depan jurokng, memohon agar padi yang disimpan terhindar dari kesialan dan gangguan.

Setelah doa selesai, lawak minu dimasukkan ke dalam jurokng sebagai simbol bahwa semangat padi kini menyatu dengan hasil panen yang akan menjadi sumber kehidupan keluarga sepanjang tahun.

5. Pesta Gawai Nosu Minu Podi

Prosesi kemudian ditutup dengan pesta gawai yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Dahulu pesta ini dilakukan di rumah betang, rumah panjang khas Dayak, sehingga seluruh keluarga besar dapat merayakan bersama.

Kini, meski rumah betang sudah tidak ada, pesta tetap dilaksanakan dengan saling berkunjung antar rumah keluarga. Pesta gawai diawali dengan misa gawai yang dipimpin Pastor, lalu dilanjutkan dengan makan bersama, hiburan, dan silaturahmi.

Halaman 3 dari 2
(bai/sun)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads