Edo (22), mahasiswa asal Kalimantan yang merantau ke Jawa Tengah ini menggunakan waktu luangnya untuk berburu thrifting. Di malam Minggu, Edo mampir ke area di sekitar Stadion Diponegoro Semarang yang mendadak berubah jadi pasar trifting.
Dikutip dari detikJateng, pasar itu ramai pembeli. Mengandalkan penerangan dari senter, mereka yang datang berharap dapat 'harta karun', termasuk Edo. Muda-mudi berbondong-bondong mencari pakaian-pakaian yang dinilai berharga bak harta karun di tengah barang-barang bekas.
Di Semarang, Edo tinggal di daerah Genuk, sekitar 10 km dari area Stadion Diponegoro. Edo mengaku nyaman belanja di malam hari, meski harus berbekal penerangan sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kan emang pasarnya buka tengah malam, jadi lebih fleksibel aja sih. Orang-orang siangnya sibuk kan, jadi malam bisa cari celana atau kaos. Semarang siang panas banget soalnya," kata Edo.
Deretan baju, celana, jaket, sepatu dipajang di sekitar Stadion Diponegoro. Lampu-lampu kios kecil menyala, ada sekitar 10 lapak pedagang trifting yang berada di sana.
Beberapa dari mereka mengaku sudah sejak setahun terakhir berjualan di lokasi itu. Pasar ini memang hanya buka sepekan sekali di malam hari. Kebanyakan pedagang mulai buka di atas pukul 22.00 WIB.
Lapak seadanya dengan penerangan yang minim membuat para pembeli tampak sesekali menunduk menyenteri tumpukan pakaian dari ponselnya. Mencari barang bernilai dengan harga di tengah pakaian bekas itu.
Edo menyebut jika kualitas barang thrifting tergantung dengan harganya. Jadi, perlu ketelitian mencari barang berkualitas di tengah ratusan pakaian yang ada.
"Kalau obral harganya Rp 35 ribu ya standar low lah. Kalau yang Rp 100 ribu ke atas biasanya bagus. Kalau lagi beruntung dapat yang brand-brand gede, kayak dapat harta karun," ujarnya.
Di lain sisi, Edo menyoroti larangan impor pakaian bekas yang sedang marak diperbincangkan. Menurutnya, harus ada solusi dari pemerintah. Karena jika dilarang, hal itu berdampak tak hanya pada penjual tapi juga pembeli.
"Kebijakannya memang bagus buat produk lokal, biar naik lagi. Tapi ya kasihan juga pelaku usaha thrifting kayak gini. Mungkin pemerintah seharuanya bisa cari solusi lain," katanya.
"Pembeli juga kan nggak semua bisa afford (menjangkau) brand bagus yang mahal, in this economy (di ekonomi seperti sekarang). Kalau thrifting biasanya dapat brand bagus, harganya murah," lanjutnya.
Edo sendiri rutin mampir setiap minggu. Malam itu, ia berkunjung mencari baju bersama kekasihnya.
"Harapannya ke depan pasar thriftingnya bisa lebih teratur, sama penerangannya ditambah. Soalnya gelap, jadi harus pakai senter sendiri," ujarnya.
(aau/aau)
