Ada satu kata yang melekat dengan keseharian masyarakat Banjar. Kata ini merujuk pada identitas masyarakat Banjar yang hidup saling membantu dalam komunitasnya.
Ialah bubuhan, sebuah kata yang punya makna dan simbol penting bagi masyarakat Banjar. Berikut penjelasannya dirangkum dari berbagai literatur.
Apa Itu Bubuhan?
Dikutip dari Deskripsi Masyarakat Banjar dalam buku "Makna Simbolik dan Nilai Budaya Kuliner Wadai Banjar 41 Macam" karya Neni dkk (2014), bubuhan adalah kelompok sosial masyarakat Banjar yang terbentuk berdasarkan tiga hal utama, yaitu:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- Garis keturunan: ikatan keluarga yang diwariskan secara turun-temurun.
- Tempat tinggal atau lokalitas: tinggal dalam satu wilayah tertentu.
- Kesejarahan: kesamaan pengalaman dan perjalanan sejarah dalam satu kelompok.
Bubuhan awalnya menunjuk pada nama kelurahan atau lalawangan (wilayah setingkat kabupaten). Namun seiring waktu, maknanya berkembang. Kini, bubuhan tidak hanya mengacu pada wilayah, melainkan juga bisa merujuk pada tokoh masyarakat atau orang yang dihormati.
Seorang pakar budaya Banjar, Alfani Daud (1997) dalam bukunya yang berjudul "Islam dan Masyarakat Banjar", mencatat bahwa bubuhan awalnya adalah identifikasi seseorang sebagai warga atau anak kampung tertentu.
Kini, bubuhan berkembang menjadi sebutan yang lebih luas, tempat orang Banjar menempatkan dirinya dalam jejaring sosial dan politik.
Peran Bubuhan dalam Kehidupan Masyarakat Banjar
Kehidupan masyarakat Banjar sejak lama berporos pada dua hal yaitu agama (Islam) dan kekerabatan (bubuhan). Dalam hal ini, bubuhan menjadi media penting untuk mengintegrasikan kepercayaan Islam ke dalam kepercayaan komunitas.
Orang Banjar sering memeluk Islam secara berkelompok, sehingga wajah Islam Banjar tidak bisa dilepaskan dari pengaruh bubuhan.
Kepala bubuhan biasanya adalah orang yang paling berwibawa seperti seorang tabib, pemimpin lokal, bahkan tokoh agama. Pada masa Kesultanan Banjar, kepala bubuhan memegang peran vital, baik sebagai representasi kelompoknya di hadapan pihak luar, maupun sebagai pengatur kehidupan internal.
Satu bubuhan bisa membentuk "anak kampung", lalu gabungan beberapa bubuhan membentuk sebuah kampung. Dari sinilah lahir struktur pemerintahan tradisional:
- Kepala bubuhan: Kepala kampung
- Beberapa kepala kampung: Lurah (jabatan Kesultanan setingkat kepala banua)
- Beberapa lurah: Lalawangan (setingkat bupati di Jawa kala itu)
- Di pusat: Bubuhan raja-raja (sultan, kerabat, mantri kerajaan)
Bubuhan dalam Politik dan Sosial
Meski masa Kesultanan sudah lama berlalu, jejak bubuhan masih terasa hingga kini. Pada masa Hindia Belanda, bubuhan tetap berpengaruh meski sistem pemerintahan mulai diubah. Bahkan dalam politik modern, bubuhan tetap berperan penting.
Dalam dunia sosial dan politik, bubuhan adalah sumber untuk melacak eksistensi seseorang. Identitas bubuhan seseorang bisa menjadi penentu apkah ia dianggap kawan atau lawan, dihormati atau diabaikan, diterima atau ditolak.
Dengan kata lain, bubuhan bukan hanya urusan keluarga atau kekerabatan, tetapi juga soal jejaring kekuasaan dan solidaritas sosial.
Hingga kini, urang Banjar tetap diidentifikasi melalui agama (Islam) dan bubuhan. Bagi mereka, bubuhan adalah cara mengenali asal-usul seseorang, siapa keluarganya, dari kampung mana ia berasal, bahkan siapa yang menjadi tokoh panutannya.
Nah, walaupun mungkin detikers memahami kata bubuhan sebagai sebutan untuk "kelompok" atau "mereka", ternyata bubuhan punya makna lebih dari itu. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan dan pemahaman detikers!
