Bagi siapa pun yang merantau atau berkunjung ke pedalaman Kalimantan, memahami budaya lokal bukanlah sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Budaya mereka tidak hanya hidup dalam seni, bahasa, dan pakaian, tetapi juga dalam cara mereka memperlakukan ruang-ruang sakral, terutama yang berkaitan dengan kematian dan penghormatan leluhur.
Salah satu bentuk penghormatan tertinggi terhadap arwah leluhur dalam tradisi Dayak adalah melalui sistem pemakaman. Dalam kepercayaan Kaharingan (ajaran kepercayaan asli masyarakat Dayak yang diakui secara resmi sebagai bagian dari Hindu di Indonesia), prosesi kematian bukan hanya soal penguburan, tetapi rangkaian spiritual yang mengantar roh menuju alam Lewu Tatau, atau alam abadi. Prosesi ini dikenal dengan sebutan Tiwah, dan menjadi titik penting dalam siklus kehidupan orang Dayak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengunjungi makam masyarakat Dayak, terutama terkait upacara tiwah dalam kepercayaan Hindu Kaharingan, adalah pengalaman spiritual dan sosial yang sangat kaya makna.
Kompleks makam tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga arena penguatan ikatan komunitas dan spiritualitas lintas generasi.
Fakta menariknya, menurut studi Arsitektur Religi Pesta Tiwah oleh Carlos Iban & Tuti Elfrida, simbol-simbol sakral seperti sapundu dan sandong bahkan menjadi elemen arsitektural yang bernilai estetika tinggi sekaligus spiritual dalam ritual kematian Dayak Ngaju.
Sapundu dan Sandung sebagai Simbol Sakral
Ketika kita memasuki kompleks makam masyarakat Dayak, terutama yang berkaitan dengan ritual Tiwah dalam kepercayaan Hindu Kaharingan, kita sebenarnya sedang memasuki dimensi budaya yang sangat sakral.
Di pusat kompleks tersebut, terdapat dua elemen utama yang tidak bisa dilewatkan: Sapundu dan Sandung.
Keduanya tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi menyimpan makna spiritual serta simbol status dan identitas sosial.
Seperti yang dijelaskan oleh Carlos Iban dan Tuti Elfrida, kedua elemen ini merupakan bagian dari 'arsitektur religius' masyarakat Dayak Ngaju. Mereka menegaskan bahwa Sapundu dan Sandung bukan sekadar artefak budaya, tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara Tiwah, yang dijaga sebagai kekayaan warisan budaya dan identitas spiritual Kalimantan Tengah.
Sapundu merupakan patung ukir yang dibuat dari kayu ulin, biasanya berbentuk manusia atau hewan, yang berfungsi sebagai tiang kurban atau alat bantu untuk 'mengantar' roh leluhur menuju alam setelah kematian (Lewu Tatau).
Sebagai simbol kekayaan dan status keluarga, semakin rumit ukirannya, semakin tinggi derajat sosial orang yang dimakamkan. Patung ini pun diberi warna mencolok sebagai simbol sukacita dan penghormatan dalam perjalanan rohani, sekaligus menjadi simbol penjaga makam secara spiritual .
Sementara itu, Sandung atau ossuarium adalah bangunan miniatur berbentuk rumah kayu panggung yang menyimpan tulang-belulang setelah prosesi Tiwah. Struktur ini dirancang oleh pengukir ahli dengan ornamen burung enggang, tanaman, bahkan simbol-simbol kosmis seperti bulan dan matahari, menggambarkan perjalanan roh dari dunia manusia ke dunia roh.
Menurut studi, bangunan ini merupakan simbol batu loncatan roh dalam perjalanan spiritual, dan letaknya yang diangkat tinggi melambangkan kedekatan dengan alam setelah kematian.
Kedua elemen ini, Sapundu dan Sandung, membentuk ruang sakral dalam upacara Tiwah, mengokohkan hubungan vertikal antara manusia, leluhur, dan Tuhan. Karena itu, keduanya tidak dianggap sebagai artefak kosong, melainkan medium spiritual penting yang menyatukan manusia, roh, dan alam.
Datang ke makam Dayak tanpa menghormati keberadaan dan makna simbol ini dapat berarti melanggar kesakralan ritus dan menyinggung keyakinan masyarakat.
Etika dalam Area Makam dan Prosesi Tiwah
Mengunjungi makam Dayak dalam konteks ritual Tiwah bukan sekadar ziarah biasa, melainkan turut memasuki ruang ritual yang mengandung makna spiritual dan sosial mendalam.
Dalam upacara ini, masyarakat Dayak Ngaju mempersiapkannya selama berbulan-bulan, dengan pelaksanaan yang bisa memakan waktu hingga tujuh hari penuh.
Mereka memandang makam sebagai bagian dari sistem ekologi budaya, di mana manusia, leluhur, dan alam berada dalam satu harmoni. Karena itulah, etika dalam area makam sangat dijaga ketat. Ritual Tiwah dimulai dari proses penggalian tulang, pemurnian (mengubah status roh), hingga pemindahan ke dalam Sandung. Sepanjang proses, setiap tindakan dijejali aturan tak tertulis yang wajib dipahami, terutama oleh orang luar.
Sebelum memasuki area Sandung, terdapat kesadaran ritual, yaitu tamu diharapkan tampil sederhana, berpakaian sopan, dan memegang tujuan menghadiri dengan khusyuk.
Percakapan keras, canda, bahkan tertawa bisa menyebabkan energi tidak seimbang, sebagaimana disampaikan oleh Nina dkk (2012) dalam studinya mengenai leksikon ritual Tiwah, bahwa seluruh aspek kegiatan dan peralatan diarahkan untuk membangkitkan kesatuan spiritual dan psikis.
Saat tiba dekat Sandung atau Sapundu, tamu harus menjaga jarak, tidak menyentuh atau memutar kepala di atas kepala patung, karena dianggap melanggar kesucian makam dan bisa menimbulkan gangguan alam gaib. Struktur makam ini berfungsi sebagai arsitektur religius, dan terganggunya harmoni fisik pun bisa dianggap sebagai gangguan spiritual.
Etika bicara juga diatur. Tamu diinstruksikan untuk berbicara dengan nada rendah dan sopan. Jika diperlukan, mereka diajarkan untuk mengucapkan 'permisi ruh leluhur' sebelum melangkah masuk, sebagai bentuk penghormatan verbal terhadap leluhur dan menjaga ketertiban spiritual ritual.
Pembicaraan ringan, terutama saat upacara berlangsung, sangat dihindari. Aktivitas santai seperti makan-minum atau merokok di dekat Sandung juga dilarang, kecuali setelah upacara inti selesai dan tamu diarahkan ke area resepsi sebagai bagian penutup.
Pelanggaran etika ini tak hanya memicu teguran dari tokoh adat, tetapi juga keyakinan akan gangguan roh leluhur, kesialan, atau ketidakberuntungan bagi yang melanggar. Studi Astrid Patricia A. (2019) menemukan bahwa masyarakat memandang Tiwah sebagai bentuk akuntabilitas sosial dan spiritual.
Oleh karenanya, jika terjadi pelanggaran, proses penyelesaian ritual bisa diperpanjang atau disertai upacara penyucian ulang agar roh kembali dalam keharmonisan
Dampak Pelanggaran Etika
Menurut perspektif sosial dan spiritual, bersikap tidak sopan dan sembarangan di makam Dayak bisa menimbulkan masalah berikut:
- Konsekuensi sosial: Perilaku tidak patuh bisa memunculkan teguran dari tokoh adat atau permintaan untuk mengikuti ritual penyucian ulang (prosesi ulang).
- Konsekuensi spiritual: Dalam kepercayaan Kaharingan, pelanggaran terhadap makam dan simbolnya bisa menyebabkan gangguan roh (pidara), malapetaka atau ketidakberuntungan.
Sikap hormat terhadap makam dan simbol Dayak bukan hanya norma budaya, melainkan syarat membangun kepercayaan dan integritas dengan komunitas lokal.
Ketika menghadiri upacara seperti Tiwah atau sekadar melintasi area makam adat menuntut kita untuk bersikap penuh hormat dan mawas diri. Di balik setiap patung sapundu, setiap sandung, dan setiap langkah dalam prosesi adat, tersimpan makna yan sakrak bagi masyarakat Dayak.
Maka, menjaga sikap dan menaati etika bukanlah beban, melainkan jembatan untuk membangun harmoni antara pendatang dan tuan rumah di bumi Borneo.
Semoga artikel ini bisa membuka perspektif detikers dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan saat berada di makam Dayak.
(sun/des)