Sepenggal Cerita Ping Luhat dan Perhiasan Manik Lambang yang 'Ajaib'

Sepenggal Cerita Ping Luhat dan Perhiasan Manik Lambang yang 'Ajaib'

Oktavian Balang - detikKalimantan
Sabtu, 28 Jun 2025 09:01 WIB
Manik Lambang yang istimewa. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan
Foto: Manik Lambang yang istimewa. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan
Bulungan -

Di tepian Sungai Kayan yang memesona, Desa Long Lasan, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara menyimpan cerita tentang seorang nenek yang menjaga warisan leluhur. Ialah Ping Luhat, wanita yang sudah berusia kira-kira 83 tahun.

Siang itu, Ping tengah berdiri di depan lapangan sepak bola desa dengan tongkat penopang di tangan. Ia kemudian berjalan perlahan kembali ke teras rumahnya. Dengan wajah semringah, ingatan Ping Luhat menerawang ke belakang saat melihat harta-harta berharganya.

Bukanlah perhiasan bernilai emas, melainkan perhiasan dari manik-manik kuno yang diwariskan turun-temurun. Manik-manik itu adalah peninggalan dari nenek moyang suku Dayak Kayan Wahau.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang ini manik tua, namanya manik lambang," ujar Ping sambil memegang butir-butir manik yang berkilau.

Dengan penuh semangat, Ping Luhat menjelaskan satu per satu perhiasannya. Ada yang bernama manik emas, manik log, hingga manik api.

Ping Luhat juga membagi kisahnya yang menakjubkan. Saat pondok di kebunnya pernah terbakar, manik-manik ini secara ajaib selamat dari kobaran api.

"Manik ini istimewa, tak mudah rusak," katanya dengan bangga.

Manik Lambang yang istimewa. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantanManik Lambang yang istimewa. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan

Ping yang lahir di Desa Long Ballao, sebelum menetap di Long Lasan, mengaku usianya mungkin lebih dari yang tercatat di KTP-nya, yaitu 1942.

"Saya tak tahu pasti tanggal lahir saya. Dulu, saat pendataan, saya hanya mengira-ngira," tuturnya sambil terkekeh.

Meski usia telah menua, semangatnya tak pudar. Ia tampak antusias saat diminta berfoto dengan kalung manik peninggalan leluhurnya, lengkap dengan topi putih anyaman daun pandan yang ia simpan di lemari.

"Dulu, saya sering menganyam topi dan tas anjat untuk keperluan sehari-hari," kenang Ping. Namun, di usia senja, ia mengaku tak lagi mampu berkonsentrasi untuk membuat kerajinan.

"Tangan ini sudah tak seperti dulu," ucapnya dengan lirih.

Meski begitu, ia membolehkan siapa saja menggunakan topi buatannya, sebuah cerminan keramahan hatinya. Ping juga berbagi kenangan masa mudanya sebagai penari adat Dayak.

"Sekarang, saya tak kuat menari lagi," katanya dengan sedikit raut sedih.

Manik Lambang yang istimewa. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantanPing Luhat dan perhiasannya yang istimewa. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan

Namun, wajahnya kembali berseri saat membicarakan baju adat Dayak. "Memakai baju adat membuat saya teringat masa muda. Penuh kenangan," ungkapnya

Baginya, baju adat adalah simbol kebanggaan dan jembatan menuju masa lalu yang penuh makna.

Kini, di usia lebih dari 80 tahun, Ping menghabiskan hari-harinya dengan aktivitas ringan seperti merawat tanaman dan berjalan kaki di sekitar desa yang sejuk dan tenang. Manik-manik peninggalan leluhur tetap ia jaga dengan penuh cinta, dengan rencana mewariskannya kepada anak-cucu.

"Ini bukan sekadar manik, ini cerita nenek moyang kami," ujarnya, seolah mengajak siapa saja untuk menghargai warisan budaya yang ia pelihara.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads