Menjelang perayaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru), permintaan babi di Kalimantan Utara (Kaltara) mengalami peningkatan signifikan. Tradisi syukuran, pesta pernikahan, hingga acara keagamaan disebut-sebut jadi pemicu utama melonjaknya pesanan.
Dari pantauan di lapangan, harga daging babi di tingkat peternak dan pasar relatif stabil meski permintaan tinggi. Namun kelangkaan terjadi pada komoditas babi hutan yang menjadi favorit masyarakat.
Di Kabupaten Malinau, peternak babi, Darius Atin, mengungkapkan bahwa kenaikan permintaan sudah terasa sejak awal Desember. Pemilik Peternakan Mamaboy di Desa Long Gafid, Kecamatan Mentarang Hulu ini menyebut stok ternaknya menipis dengan cepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Per tanggal 12 Desember ini sisa 15 ekor. Awal bulan masih 26 ekor, tapi sudah banyak terjual untuk pernikahan dan syukuran. Konsumen paling banyak cari babi berat sekitar 30 kg," ujar Darius yang telah beternak selama 25 tahun, Jumat (12/12/2025).
Darius menyoroti nilai budaya di balik tingginya permintaan ini. Bagi masyarakat Malinau yang mayoritas Suku Dayak, keberadaan hidangan babi dalam sebuah acara memiliki nilai prestise tersendiri.
"Jika ada satu saja babi yang disiapkan, akan memberi kesan acara tersebut mewah. Meski ada 100 kg ayam, itu terdengar biasa. Tapi jika ada 1 ekor babi meski cuma 30 kg, akan terkesan istimewa dan 'wah'. Ini soal gengsi dan penghormatan pada tamu," jelas Darius.
Untuk menjaga kepercayaan konsumen, Darius memilih tidak menaikkan harga. Di peternakannya, harga babi hidup (borongan) dipatok Rp 100.000/kg, sementara daging bersih Rp 130.000/kg. Pelanggannya datang dari Mentarang, Tanjung Lapang, hingga Batu Lidung.
Masih di Malinau, peternak lainnya yang akrab disapa Boy, pemilik Malinau Kita, mengungkapkan fenomena lain. Menurutnya, permintaan jelang Nataru tidak seimbang dengan ketersediaan stok.
"Permintaan pasti banyak, tapi stok warga sering tidak cukup atau mereka simpan untuk konsumsi sendiri," kata Boy.
Babi Hutan Langka
Boy juga menyoroti kelangkaan daging babi hutan yang sebenarnya menjadi favorit masyarakat karena tekstur dan rasanya yang khas. Sejak pandemi COVID-19, babi hutan semakin langka dan harganya melambung.
"Daging babi hutan sekarang paling mahal, bisa Rp 150.000-Rp 160.000/kg. Itu pun kalau ada barangnya, satu truk bisa langsung habis dipesan," tambahnya.
Sementara untuk babi ternak (landrace/bali), Boy mematok harga daging segar di kisaran Rp 140.000/kg dan tulang Rp 120.000/kg.
Harga Babi di Sejumlah Daerah
Kondisi serupa terjadi di Kota Tarakan. Joice, peternak babi di Tarakan Barat, menyebut Desember adalah bulan panen bagi peternak karena banyaknya acara gereja dan kerukunan keluarga.
"Permintaan membeludak terutama jika ada acara adat Toraja dan Natal. Biasanya pembeli main harga borongan, 90 kg bisa dihargai Rp 5 juta," ungkap Joice.
Untuk harga eceran, Joice menjual daging babi potong seharga Rp 140.000/kg dan lemak Rp 100.000/kg.
Bergeser ke wilayah perbatasan di Krayan, Kabupaten Nunukan, Sigar Padan, peternak asal Desa Liang Butan, memastikan harga di wilayahnya masih stabil di angka Rp 100.000/kg.
"Permintaan tinggi untuk ibadah Natal dan pernikahan. Di Krayan konsumsinya memang cukup tinggi, terutama jenis babi lokal krayan. Saya pernah jual borongan satu ekor tembus Rp 8 juta," tutur Sigar.
Sementara itu di Kabupaten Bulungan, Ham Gun, peternak asal Mara 1, Tanjung Palas Barat, mengaku harga di wilayahnya cenderung stabil karena pasokan babi yang cukup melimpah dalam dua tahun terakhir.
"Sekarang sisa 27 ekor. Harga tetap stabil Rp 100.000/kg. Di sini ramainya kalau ada acara syukuran pesta panen, tergantung ekonomi masyarakat juga," ujarnya.
Simak Video "Video: Bagaimana Kelanjutan Investasi Peternakan Babi Rp 10 T di Jepara?"
[Gambas:Video 20detik]
(bai/bai)
