Belakangan publik dihebohkan dengan rencana perluasan barang kena cukai (BKC) terhadap beberapa item seperti popok, alat makan dan minum sekali pakai, hingga tisu basah. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) menjelaskan aturan tersebut masih dalam tahap kajian ilmiah.
Mengutip detikFinance, barang-barang kena cukai itu sebelumnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan pengenaan cukai ini masih dalam tahap kajian ilmiah sebagai bentuk akuntabilitas.
"Kami sampaikan bahwa pembahasan pengenaan cukai atas produk dimaksud masih berada pada tahap kajian ilmiah (policy review) sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah," katanya dalam keterangan resmi yang diterima, Jumat (14/11/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nirwala menjelaskan, secara prinsip cukai adalah pajak objektif yang dikenakan pada barang yang memenuhi salah satu kriteria dalam ketentuan cukai, yakni yang konsumsinya perlu dikendalikan, yang peredarannya perlu diawasi, yang pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan, dan/atau pemakaiannya layak dipungut negara demi keadilan dan keseimbangan.
Ia menambahkan, kajian pengenaan cukai atas produk popok hingga tisu basah merupakan tindak lanjut program penanganan sampah laut yang tertuan dalam PP 83/2018. DPR juga sempat memberi masukan pada 2020 agar pembahasan cukai plastik tidak hanya kantong plastik, namun juga produk plastik sekali pakai.
"Menindaklanjuti itu, tahun 2021 dilakukan kajian atas diapers, tisu basah dan alat makan sekali pakai untuk memetakan opsi produk yang secara teoritis dapat memenuhi kriteria Barang Kena Cukai," jelasnya.
Sejauh ini, perluasan barang kena cukai tersebut masih dalam tahap kajian ilmiah. Nirwala menegaskan belum ada target penerimaan negara yang ditetapkan dari produk-produk tersebut.
"Saat ini masih dalam tahap kajian ilmiah, belum ada target penerimaan negara yang ditetapkan," tambahnya.
Artikel ini telah tayang di detikFinance.
(des/des)
