Menjaga Rumah Tangga dari Gray Divorce, Perceraian di Usia Senja

Menjaga Rumah Tangga dari Gray Divorce, Perceraian di Usia Senja

Tim detikHealth - detikKalimantan
Rabu, 17 Des 2025 12:35 WIB
Tingkat Perceraian di Jerman Sentuh Titik Terendah Sejak 1990
Ilustrasi perceraian. Foto: DW (News)
Balikpapan -

Tak jarang kita mendengar kabar perceraian pasangan suami istri setelah puluhan tahun menikah. Perpisahan masih bisa terjadi pada rumah tangga pasangan yang sudah berusia senja.

Dirangkum detikHealth dari beragam sumber, gray divorce merujuk pada perceraian yang terjadi pada pasangan berusia 50 tahun ke atas, umumnya setelah menjalani pernikahan panjang selama 20 hingga 40 tahun. Ibarat bom waktu, konflik yang lama terpendam akhirnya meledak di fase kehidupan yang seharusnya lebih tenang.

Fenomena ini bukan hal baru secara global. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan sejumlah negara Eropa, gray divorce menunjukkan tren peningkatan signifikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Indonesia, data Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama mengungkap sepanjang periode 2020-2024, angka cerai tertinggi justru berasal dari laki-laki usia 52 tahun ke atas, dengan total mencapai sekitar 202.333 orang. Pada perempuan, meski bukan kelompok tertinggi, angka perceraian usia 50 tahun ke atas juga tergolong signifikan.

Penyebab Gray Divorce

Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan RI, dr Imran Pambudi, MPHM, turut menyoroti tren ini. Menurutnya, keputusan gray divorce kerap berkaitan dengan konflik lama yang menumpuk setelah dipendam bertahun-tahun.

"Gray divorce itu seperti bom waktu. Masalahnya sudah ada sejak lama, tetapi baru 'meledak' ketika seseorang memasuki fase refleksi hidup, anak-anak sudah mandiri, atau ketika pasangan menghadapi perubahan besar seperti pensiun atau penurunan kesehatan," beber dr Imran saat dihubungi detikcom Selasa (16/12/2025).

Ia menjelaskan pada fase usia lanjut, pasangan cenderung melakukan evaluasi mendalam terhadap kualitas hidup dan relasi. Pertanyaan seperti 'Apakah saya ingin menjalani sisa hidup seperti ini?' kerap muncul dan menjadi pemicu keputusan besar.

Mengutip berbagai studi, dr Imran menekankan gray divorce sering terjadi setelah anak-anak dewasa dan keluar dari rumah (empty nest), dengan usia pernikahan panjang antara 20 hingga 40 tahun. Menariknya, fenomena ini juga kerap diprakarsai oleh perempuan, temuan yang konsisten di berbagai negara, termasuk riset yang dilakukan di Indonesia.

Alasan yang melatarbelakangi pun beragam, mulai dari pasangan yang tumbuh ke arah berbeda (growing apart), kebutuhan emosional yang tak lagi terpenuhi, konflik lama yang tak pernah benar-benar selesai, hingga perubahan nilai hidup, spiritualitas, dan kondisi kesehatan yang justru memperkuat konflik yang sudah ada.

Sejalan dengan penjelasan dirangkum dari Cleveland Clinic, psikolog Chivonna Childs, PhD menjelaskan fenomena perceraian banyak dipengaruhi oleh meningkatnya angka harapan hidup, perubahan budaya, serta bergesernya pandangan masyarakat terhadap makna dan manfaat pernikahan. Sejumlah faktor yang kerap mendorong terjadinya gray divorce antara lain:

- Hubungan yang timpang, ketika pasangan memiliki minat, impian, dan tujuan hidup yang berbeda
- Perasaan bahwa pernikahan telah berjalan stagnan
- Kurangnya rasa pemenuhan diri
- Keinginan mencari koneksi emosional yang lebih bermakna
- Sindrom empty nest serta dorongan untuk hidup lebih mandiri
- Hasrat untuk pertumbuhan pribadi, menjaga kesehatan mental, dan meningkatkan kualitas hidup
- Peristiwa besar yang mengubah hidup, seperti pengalaman nyaris meninggal atau bertahan dari penyakit serius

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menilai, salah satu pemicu yang kerap luput disadari adalah kebiasaan berpura-pura bahagia demi menjaga citra rumah tangga.

"Ketidakbahagiaan yang disangkal justru paling berbahaya. Hadapi secara jujur, bicarakan, dan cari jalan keluarnya bersama. Pura-pura bahagia hanya akan merusak hubungan secara perlahan," kata dr Imran.

Ia menegaskan penuaan yang sehat (healthy aging) dalam pernikahan tidak hanya soal fisik, tetapi juga menyangkut kesehatan emosional, mental, dan spiritual pasangan.

"Banyak pasangan yang tampak baik-baik saja di luar, tapi sebenarnya memendam ketidakbahagiaan bertahun-tahun. Ini seperti bom waktu. Jika tidak dihadapi secara nyata dan dicari solusinya, konflik akan menggerogoti hubungan secara perlahan," kata Imran.

Cara Menjaga Rumah Tangga dari Gray Divorce

Imran menekankan pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka sebagai fondasi utama mencegah perceraian di usia matang. Konflik yang dipendam justru memperlebar jarak emosional.

"Jangan menunda pembicaraan penting. Bicarakan ketidaknyamanan, kekecewaan, atau perbedaan dengan cara yang sehat. Dengarkan pasangan untuk memahami, bukan sekadar menunggu giliran membalas," ujarnya.

Ia juga menyarankan pasangan untuk menciptakan kembali kebersamaan setelah anak mandiri, misalnya melalui hobi bersama, olahraga ringan, atau kegiatan sosial yang memberi makna baru dalam hubungan.

Selain komunikasi, kesehatan spiritual dan mental dinilai berperan besar dalam menjaga keutuhan pernikahan di usia senja. Imran menyebut ibadah bersama dapat memperkuat ikatan batin pasangan.

"Melihat pasangan sebagai amanah, bukan beban, akan mengubah cara kita bersikap. Ibadah bersama, doa, atau refleksi spiritual membantu pasangan lebih sabar dan empatik," jelasnya.

Dalam fase lanjut usia, Imran menilai pasangan perlu memosisikan diri sebagai satu tim. Menyusun tujuan bersama, mulai dari rencana pensiun hingga aktivitas di masa tua, dapat memberi arah dan makna baru dalam pernikahan.

Saling menghormati, memberi ruang bagi pasangan untuk berkembang, serta menerima perubahan menjadi kunci agar pernikahan tetap sehat. Jika konflik terasa buntu, Imran menyarankan pasangan tidak ragu mencari bantuan profesional, termasuk konseling pernikahan, meski usia sudah tidak muda.

"Konseling bukan tanda kegagalan, tetapi bentuk tanggung jawab untuk merawat hubungan. Bahkan di usia senja, relasi tetap bisa diperbaiki dan disembuhkan," ujarnya.

Menurut dr Imran, tidak semua pernikahan usia panjang yang mengalami krisis harus berujung perceraian. Dukungan dari lingkungan sekitar masih memegang peran penting.

Ia juga menekankan pentingnya pendekatan life review atau pemaknaan ulang perjalanan hidup, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan. Selain itu, dukungan sosial yang konsisten dan terbuka dapat membantu menyembuhkan luka relasi yang telah menahun.

"Baik bertahan maupun berpisah, pasangan perlu dibantu untuk memahami realitas kehidupan ke depan, termasuk kesiapan mental, sosial, dan finansial. Gray divorce bukan hanya soal hubungan suami istri, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental, relasi keluarga besar, dan kualitas hidup di usia lanjut," kata dr Imran.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads