Sebuah video yang memperlihatkan perjuangan para pelajar di Kalimantan Utara (Kaltara) menembus jalanan berlumpur tebal demi menuntut ilmu viral di media sosial. Salah satu siswa tersebut bernama Sharon.
Sharon duduk di kelas 12 SMAN 1 Long Layu, Krayan Selatan, Kalimantan Utara. Ia mengaku seumur hidupnya belum pernah merasakan jalan beraspal di kampung halamannya.
"Sejak SD sampai SMA kelas 3, jalanan di kampung begitu-gitu saja, tidak ada perkembangan apalagi pengaspalan," ujar Sharon kepada detikKalimantan, Senin (15/12/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sharon membeberkan bahwa sejak ia kecil hingga remaja, ia tidak pernah melihat wujud aspal di desanya. Akses jalan utama yang menghubungkan rumah dan sekolahnya hanyalah tanah merah yang konturnya naik turun bukit.
"Seumur hidup, yang namanya menginjakkan kaki di jalanan beraspal saya belum pernah," tuturnya.
Bagi Sharon, perjalanan menuju sekolah sangat menguras waktu dengan tantangan fisik yang berat. Ia menceritakan, jika musim hujan tiba, jalanan berubah menjadi kubangan lumpur yang licin dan dalam. Sebaliknya, jika cuaca panas, mereka harus berjibaku dengan debu tebal.
"SD dan SMP saya jalan kaki ke sekolah, sekitar 25 menit dengan berjalan kaki. Saya naik sepeda motor sejak kelas satu SMA, jarak tempuh sekitar 25 menit. Jalanan di sini naik bukit turun bukit," jelasnya.
Akibat kondisi jalan yang ekstrem, tak jarang Sharon dan teman-temannya harus melepas sepatu agar bisa berjalan lebih cepat dan sepatu tidak terjebak lumpur pekat. Pemandangan siswa menenteng sepatu dengan kaki telanjang berlumur tanah merah sudah menjadi hal biasa dari SD hingga SMA.
"Dari kelas 1 SD sampai SMP, sepatu tidak pernah bersih. Selalu kotor karena jalan becek. Biasa kami lepas sepatu, biar enggak terpeleset. Pokoknya kalau malamnya hujan, jangan harap ada celah pijakan yang bagus. Semua lumpur," ungkap Sharon.
Sesampainya di sekolah, kondisi seragam mereka juga lusuh. Percikan lumpur seringkali mengotori baju hingga meninggalkan bekas permanen karena sulit dibersihkan. Pihak sekolah pun memaklumi kondisi ini dan menyediakan tempat membasuh kaki.
"Guru memaklumi, karena mereka juga sama seperti kami, jalan kaki ke sekolah. Di lantai sekolah itu membekas tanah merah," tambahnya.
Kondisi fisik yang kotor dan basah ini diakui Sharon sangat mengganggu konsentrasi belajar.
"Nggak nyaman saat belajar karena kotor, berlumpur. Basah juga kan," keluhnya.
Selain jalan berlumpur, Sharon dan kawan-kawan juga harus melewati jembatan kayu penghubung jalan. Namun suatu ketika, jembatan itu hanyut terbawa banjir. Para siswa terpaksa menyeberang menggunakan satu batang pohon darurat yang membentang di ketinggian sekitar 10 meter di atas sungai.
"Pas kebanjiran jembatan kayunya hanyut. Jadi terpaksa harus ikut (meniti) batang yang satu batang aja," kenangnya.
Warga Desa Long Layu, Krayan, melewati jembatan darurat. Foto: Dok. Istimewa |
Momen ini menurutnya cukup mencekam, terutama bagi siswa yang takut ketinggian. Bahkan, Sharon menyebut pernah ada rekannya yang terjatuh saat melintasi rintangan tersebut.
"Ada yang jatuh sampai ke bawah. Tingginya sekitar 10 meter. Itu sangat kena mental, sempat berpikir nggak usah sekolah karena nggak ada jembatan. Tapi karena nggak ada pilihan, ya terpaksa lewat situ," ujarnya.
Meski setiap hari harus bertaruh nyawa dan kenyamanan, Sharon dan teman-temannya tetap semangat bersekolah. Namun, ia tak menampik rasa irinya melihat pelajar di kota yang bisa menikmati fasilitas jalan mulus.
"Jujur, kami iri dengan pelajar di daerah lain karena mereka dengan mudah bisa menikmati akses internet. Kondisi itu membuat kami, para pelajar di perbatasan merasa tertinggal informasi dibandingkan pelajar di kota," keluhnya.
Mewakili pelajar Krayan, Sharon berharap pemerintah segera turun tangan membenahi akses jalan mereka. Ia ingin bisa pergi ke sekolah dengan lebih aman.
"Keinginan kami anak sekolah sekarang hanya untuk jalan kami lah, Pak. Kemarin kami ingin jalan kami ini diaspalkan. Biar kami tidak susah ke sekolah," pungkasnya.

