Sebuah rumah sederhana yang dikelilingi sayur maupun buah-buahan, di RT 3, Kelurahan Karang Harapan, Tarakan Barat, Kalimantan Utara, menjadi saksi Mukilan membesarkan tiga anaknya. Tak disangka, seorang petani biasa mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana, bahkan menjadi dokter.
Dari tangan yang kasar dan berurat, terlihat Mukilan sudah puluhan tahun akrab dengan cangkul dan tanah. Meski sering dianggap 'hanya' menanam bawang, dia membuktikan keyakinan dapat mengubah masa depan.
"Kalau pakai logika manusia, pendapatan saya ini minus. Untuk biaya anak-anak itu sebulan butuh lima belas juta, pendapatan kadang cuma Rp 5 juta. Tapi kalau pakai mata Tuhan, hitungannya beda," ujar Mukilan, di depan pintu rumah sederhananya, Jumat (12/12/2025)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nama Mukilan sempat menjadi buah bibir di kalangan petani Tarakan sekitar tahun 2017 karena menanam bawang merah. Padahal saat itu, ada mitos kuat yang dipercaya banyak orang, yakni tanah Tarakan tidak bisa ditanami bawang merah. Tanahnya dianggap terlalu masam, cuacanya tak menentu.
Namun perantau asal Pare, Kediri, Jawa Timur, ini membuktikan kesuksesannya menanam bawang. Bukan karena ahli pertanian, pria yang datang di Tarakan sejak 2006 ini justru buta soal pertanian.
Ia sebelumnya adalah peternak lele. Niat awal dirinya merantau sederhana, yakni tergiur harga lele di Tarakan yang saat itu Rp 200 per ekor, jauh di atas harga di Jawa yang hanya Rp 15 per ekor.
"Dinas Pertanian saja heran. Dinyatakan Tarakan tidak bisa ditanami bawang merah, ternyata aku bisa," kenang Mukilan.
Panen pertamanya sukses. Dari uji coba 5 kilogram bibit, berkembang menjadi puluhan kilogram, hingga akhirnya ia mampu mendatangkan bibit bawang dari Jawa. Di tengah skeptisisme, ladang Mukilan menghijau. Ia mematahkan stigma agraris di pulau itu.
Namun, keberhasilan agrikultur hanyalah babak pembuka. Tantangan sebenarnya bukan pada hama atau tanah, melainkan pada biaya hidup yang mencekik dan fluktuasi pasar. Ketika biaya operasional menanam sendiri membengkak dan kualitas bawang lokal kalah bersaing dengan bawang Sulawesi, Mukilan harus memutar otak.
Ia beralih strategi, dari petani murni menjadi pengusaha olahan. Ia mendatangkan bawang dari Jawa, mengolahnya, dan mendistribusikannya ke ratusan toko di Tarakan.
"Sekarang fokus jualan. Kalau menanam terus, biayanya besar, kualitas kalah. Kita harus realistis," ujarnya sambil menawarkan buah pepaya yang baru saja ia petik.
Jauh sebelum bergulat dengan tanah Tarakan, Mukilan telah kenyang menelan pil pahit kehidupan. Pada era 1995 hingga 1998-an, ia pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan. Ia bekerja di pabrik tekstil Samsung, mengumpulkan pundi-pundi won.
Namun, krisis moneter 1998 menghantam Indonesia, dan Mukilan yang telah pulang kampung harus menyaksikan hasil jerih payahnya di Korea ludes.Usaha tambak lele seluas satu hektare yang dibangunnya hancur. Ia bangkrut.
"Habis semua, Mas. Sempat mau ke Korea lagi, tapi akhirnya telepon teman, disuruh ke Tarakan saja," ceritanya.
Tahun 2006, ia mendarat di Tarakan. Bukan sebagai juragan, melainkan dimulai dari nol besar. Ia pernah menjadi kuli bangunan, sales permen, hingga sales rokok dengan gaji harian yang hanya cukup untuk makan hari itu saja.
"Waktu itu gaji sales rokok Rp 70 ribu sampai Rp 90 ribu sehari. Anak mau masuk dokter, bayangkan pusingnya," tuturnya sambil tertawa getir.
Titik balik Mukilan bukan terjadi di ladang, melainkan di sajadah. Ia mengaku kehidupannya berubah setelah ia mulai mendalami spiritualitas pada tahun 2010. Ia menyebutnya sebagai jalan Tasawuf sebuah upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Sang Pencipta.
Motivasi terbesarnya datang dari sebuah mimpi sang anak perempuan yang kini menjadi dokter. Dalam mimpi itu, sang anak melihat perkampungan emas dan lautan luas yang tak bertepi. Mukilan menafsirkan itu sebagai petunjuk.
"Anakku sempat bilang, Pak, aku mau jadi dokter saja. Tapi saya bilang, kalau Tuhan menghendaki kamu jadi dokter, jadilah dokter yang baik," ujar Mukilan.
Keyakinan 'jalur langit' inilah yang membuatnya berani mengambil keputusan gila secara finansial. Ketika anaknya diterima di Fakultas Kedokteran pada tahun 2020 dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya asrama mencapai puluhan juta, Mukilan tidak memegang uang sepeser pun.
"Itu pun waktu itu enggak punya uang. Aku pinjam koperasi sepuluh juta, sisanya bismillah," katanya.
Kini, tiga anaknya sedang menempuh pendidikan tinggi. Yang sulung Sarjana Bahasa Inggris, yang kedua sedang koas kedokteran, dan yang bungsu menempuh pendidikan penghafal Al-Qur'an sekaligus di pondok pesantren.
"Untuk yang dokter saya keluarkan Rp 10 juta, untuk si bungsu Rp 1,5 juta. Total sebulan saya harus siapkan Rp 11,5 juta. Terus terang, kebutuhan saya per bulan Rp 15 juta. Sedangkan penghasilan perhari cuma Rp 10 juta, dan sekarang minus Rp 5 juta sejak anak mulai koas," rincinya.
Di rumah sederhananya yang kadang juga berfungsi sebagai gudang bawang, Mukilan menunjukkan sisi lain seorang ayah. Di satu sisi, ia adalah analis bisnis yang tajam menghitung margin keuntungan bawang per kuintal, memantau 200 toko langganan, dan menghitung depresiasi aset.
Ia mengaku saat ini kondisi keuangannya sedang 'berdarah-darah'. Utang ke saudara dan teman menumpuk untuk menutupi biaya kuliah anak yang mencapai ratusan juta rupiah. Namun, ia tidak terlihat panik.
"Matematika manusia bilang ini mustahil. Tapi buktinya sampai sekarang anak-anak masih bisa makan, masih bisa kuliah. Ada saja jalannya. Ada teman bantu, ada rezeki tak terduga. Coba lihat wajah saya, ada bersedih," ucapnya.
Bagi Mukilan, hidup di dunia hanyalah persinggahan sementara alias 'mampir ngombe'. Ia tidak mewariskan harta berlimpah, tanah berhektare-hektare, atau rumah mewah kepada anak-anaknya. Ia mewariskan pendidikan dan keyakinan bahwa tidak ada yang mustahil selama seseorang berani mengetuk pintu langit.
Di akhir percakapan, Ketua Kelompok Tani "Gemah Ripah" ini menyeka keringat di dahinya. Di luar, matahari Tarakan sedang terik-teriknya. Mukilan siap kembali bekerja, mengantar bawang, demi satu tujuan yakni, melihat anak-anaknya mengenakan toga, sebuah kemewahan yang dibayar lunas dengan kerja keras dan doa yang tak putus-putus.
"Beberapa pejabat di Pemkot, bahkan orang besar bertanya dan heran kepada saya, bagaimana bisa seorang petani menyekolahkan ke 3 anak hingga menjadi dokter. Bahkan. Mereka sendiri belum tentu bisa seperti itu," ujarnya.
"Buktinya bisa," pungkasnya lirih.
Simak Video "Video: Pangdam Mulawarman Bicara Penyebab Anggota TNI Serang Mapolres Tarakan"
[Gambas:Video 20detik]
(bai/bai)
