Nama Kalimantan Utara (Kaltara) kembali harum di kancah sains internasional. Dr Ihya, SpB FICS AIFO-K, seorang dokter bedah sekaligus ilmuwan muda asal Tarakan, terpilih mewakili Indonesia dalam forum Indonesia-Australia Youth Science Forum (IAYSF) ke-4.
Forum ini bakal digelar di Makassar pada 8-10 Desember 2025. Dalam forum yang mempertemukan ratusan akademisi muda terbaik ini, Dr Ihya membawa inovasi yang mengangkat kearifan lokal Kaltara ke panggung dunia. Ia akan menunjukkan pemanfaatan kulit Ikan Gabus (Haruan) sebagai obat luka bakar.
"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dan terhormat dapat terpilih dari ratusan akademisi muda di seluruh Indonesia. Bagi saya, ini simbol bahwa ide-ide penelitian dari daerah, termasuk Kaltara, memiliki daya saing internasional," ujar Dr Ihya kepada detikKalimantan, Sabtu (6/12/2025).
Dr Ihya merasa bangga, ia dapat bersaing dengan akademisi lainnya, unjuk gigi sebagai peneliti dari wilayah perbatasan. Ia menegaskan semangatnya membawa nama pemuda Kaltara untuk membuktikan, bahwa anak bangsa dari wilayah perbatasan pun mampu berkontribusi dalam inovasi kesehatan global.
Dalam presentasi yang akan dibawakan dihadapan delegasi Australia, Dr Ihya bakal memaparkan rancangan penelitian mengenai pemanfaatan kulit ikan gabus atau yang akrab disebut masyarakat lokal sebagai Ikan Haruan. Kulit ikan kebanggaan lokal itu sebagai biomaterial alternatif penanganan luka bakar.
"Kulit ikan gabus itu kaya akan kolagen tipe 1 dan senyawa bioaktif yang punya potensi mempercepat proses penyembuhan serta mengurangi risiko infeksi," kata Dr Ihya.
Inovasi ini lahir dari dua alasan utama, yakni kebutuhan klinis dan kekayaan lokal. Sebagai dokter bedah, Dr Ihya kerap menemui kendala pasien luka bakar kesulitan mengakses modern dressing (balutan modern) yang harganya mahal dan seringkali harus diimpor.
"Di sisi lain, Borneo atau Kalimantan punya solusi. Ikan haruan di sini melimpah. Secara tradisional, ikannya diyakini menyembuhkan luka karena protein albuminnya. Saya ingin menjadi jembatan yang menghubungkan kearifan lokal ini dengan metodologi ilmiah modern," tambahnya.
Dampak dari penelitian ini diprediksi tidak hanya berhenti di meja operasi, tetapi hingga ke masyarakat pesisir. Dr Ihya optimis, jika riset biomaterial ini berkembang, Kaltara bisa menjadi pusat inovasi biomaterial berbasis biodiversitas.
"Ini punya dampak berlapis (multiplier effect). Bidang kesehatan dapat alternatif obat murah, sementara nelayan lokal mendapat sumber ekonomi baru. Kulit ikan yang tadinya bernilai rendah atau dianggap limbah, bisa jadi komoditas industri kesehatan," harapnya.
Ajang IAYSF yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) ini bertujuan membangun jejaring ilmiah antara Indonesia dan Australia. Dr Ihya berharap forum ini menjadi ruang pertukaran pengetahuan (knowledge exchange) untuk mematangkan risetnya.
"Saya sudah membentuk tim kecil untuk menyiapkan proposal riset standar internasional. Harapannya, ada kolaborasi dengan pihak Australia yang memiliki arah penelitian relevan, sehingga inovasi ini bisa segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas," pungkasnya.
Simak Video "Video: Pangdam Mulawarman Bicara Penyebab Anggota TNI Serang Mapolres Tarakan"
(aau/aau)