Video pendek menjadi salah satu konten yang sedang tren di media sosial dan paling diminati oleh pengguna. Sebab, kita tidak perlu lagi menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkan suatu informasi. Ironisnya, video pendek justru menimbulkan efek candu hingga kita betah berlama-lama menonton konten media sosial dan scrolling terus-menerus.
Dilansir detikHealth, kebiasaan ini dapat menyebabkan brain rot atau penurunan kemampuan kognitif seseorang. Video pendek membuat orang cenderung mencari informasi secara instan sehingga menurunkan daya pikir kritis. Bahkan, sejumlah penelitian sudah dilakukan dan menyimpulkan konten-konten video pendek bisa memicu kerusakan otak.
Menurut beberapa studi yang diterbitkan jurnal Neuromalge, konten yang paling banyak berpengaruh pada kondisi brain rot antara lain konten receh seperti lelucon dan tantangan ekstrem.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanda-tanda Mengalami Brain Rot
Kalau detikers suka menonton konten video pendek berlama-lama, seperti di TikTok, Instagram Reels, atau YouTube Short, jangan-jangan detikers juga sudah mengalami brain rot. Psikolog Artika Mulyaning Tyas, S.Psi., M.Psi, beberapa tanda-tanda seseorang mengalami brain rot antara lain:
- Sulit berkonsentrasi
- Sering lupa
- Sulit mengambil keputusan
- Sering mengalami kecemasan berlebih akibat media sosial
- Ketergantungan pada media sosial sebagai bentuk pelarian
- Kurang memiliki interaksi sosial yang bermakna
- Tidak mampu menyelesaikan konflik secara efektif
Brain rot dapat menimbulkan efek berupa gangguan kognitif, gangguan emosional, hingga menimbulkan dampak sosial dalam hal relasi interpersonal. Brain rot bukan sekadar tren media sosial, melainkan juga fenomena nyata yang mengkhawatirkan bagi kesehatan mental dan kemampuan koginitif. Saking seriusnya fenomena ini, istilah brain rot pun ditetapkan sebagai Word of the Year 2024 oleh Oxford University Press.
"Media sosial bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial menyediakan akses informasi dan pendidikan, tetapi di sisi lain, penggunaan yang tidak terkontrol dapat berdampak negatif. Konten yang hanya berfokus pada hiburan instan membuat otak terbiasa dengan stimulus cepat tanpa tantangan berpikir mendalam," kata Artika dikutip Jumat (5/12/2025).
Menurut Artika, penggunaan media sosial memang tidak terhindarkan di era digital. Namun, ia menekankan manusia harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial supaya tidak terjerumus ke dalam jebakan brain rot.
"Dengan menggunakan media sosial secara bijak dan memperhatikan konten yang kita konsumsi, kita dapat mencegah dampak negatifnya dan menjaga kesehatan otak kita di era digital ini," imbuhnya.
Cara Mencegah Brain Rot
Lantas bagaimana cara mencegah atau mengurangi efek brain rot dari konsumsi media sosial? Menurut Artika, pengguna harus mengelola pemakaian media sosial dengan bijak. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan.
- Membatasi penggunaan media sosial. Menurut ahli, penggunaan media sosial yang ideal yakni 1 jam hingga 1,5 jam per hari.
- Memilih konten yang berkualitas dari sumber yang terpercaya.
- Kurangi paparan konten yang hanya murni hiburan.
- Latih keterampilan berpikir kritis dengan terlibat dalam diskusi mendalam dan memverifikasi kembali informasi yang diterima.
- Bangun kebiasaan membaca tulisan-tulisan panjang seperti artikel dan buku.
- Tingkatkan interaksi sosial di dunia nyata.
Apabila sudah mulai mengalami brain rot hingga menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan, Artika menyarankan supaya pengguna segera mencari bantuan profesional.
"Di Indonesia, layanan psikologis tersedia di berbagai fasilitas kesehatan, menawarkan konsultasi untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Jika membutuhkan bantuan segera, hotline Healing 119 juga tersedia untuk dukungan awal," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di detikHealth. Baca selengkapnya di sini.
