- Peradaban Awal
- Kejayaan Sultanate Brunei, Penguasa Besar Borneo (Abad ke-15-17)
- Perjanjian Anglo-Dutch 1824: Awal Pembelahan Pengaruh di Borneo
- Inggris Perkuat Cengkeraman Lewat Dinasti White Rajah di Sarawak
- Sabah Disewakan ke British North Borneo Company
- Perang Dunia II: Pendudukan Jepang dan Perlawanan Masyarakat Dayak
- Pembagian Wilayah setelah Perang Dunia II KalimantanΒ Kembali ke Indonesia Lahirnya Malaysia Brunei Memilih tetap Sendiri
Pulau Borneo atau Kalimantan adalah salah satu pulau dengan sejarah paling panjang dan rumit di Asia Tenggara. Sejak ribuan tahun lalu, wilayah ini menjadi jalur perdagangan antara India, Tiongkok, dan dunia Melayu. Namun di balik itu, perjalanan panjang sejarahnya juga melibatkan persaingan kerajaan besar, kolonialisme, dan perang dunia.
Dalam artikel ini, detikKalimantan merangkum jejak sejarah Borneo secara lengkap, mulai dari masa awal perdagangan, kejayaan kerajaan Hindu dan Islam, dominasi kolonial Belanda-Inggris, perang dunia, hingga ketegangan politik di abad ke-20 yang membentuk Borneo menjadi pulau yang diakui oleh tiga negara.
Peradaban Awal
Borneo telah menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan internasional sejak awal milenium pertama. Manuskrip Tiongkok, India, dan Jawa mencatat kota-kota pesisir Borneo sebagai pelabuhan yang terhubung dengan jalur perdagangan dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
G Windsor Earl dalam catatan perjalanannya di Borneo berjudul "Sketch of The Island of Borneo" menemukan dari kawasan Sarawak hingga pesisir barat Kalimantan, pedagang asing mencari komoditas bernilai tinggi saat itu, seperti emas, kapur barus, kulit penyu, gading enggang, tanduk badak, rotan, sarang burung, hingga berbagai rempah. Bukti yang sudah ada sejak 1837 ini memperkuat fakta bahwa tanah Borneo adalah surga yang juga jadi rebutan bangsa Eropa.
Kaum India menyebut Borneo dengan nama Suvarnabhumi, "negeri emas", dan Karpuradvipa, "pulau kapur barus". Sementara itu, naskah Jawa menyebutnya sebagai Puradvipa atau Pulau Intan. Situs arkeologi di delta Sungai Sarawak juga memperlihatkan jejak kota dagang yang aktif sejak abad ke-6 hingga 1300 M. Inilah yang jadi bukti kuat bahwa Borneo telah terhubung dengan dunia luar jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Prasasti Mulawarman di Museum Nasional Jakarta Foto: (Elmy Tasya Khairally/detikcom) |
Salah satu penemuan terpenting terkait era awal Borneo adalah prasasti Kutai di Kalimantan Timur. Pilar batu yang menggunakan aksara Pallava ini berasal dari paruh kedua abad ke-4 Masehi dan menjadi salah satu bukti paling awal pengaruh Hindu di Asia Tenggara. Kerajaan Kutai Martadipura yang dipimpin Raja Mulawarman menunjukkan adanya struktur politik maju jauh sebelum Islam berkembang di wilayah tersebut.
Pada abad ke-14, catatan Nagarakretagama (1365) menunjukkan bahwa hampir seluruh pesisir Borneo berada dalam pengaruh Majapahit, disebut sebagai wilayah Nusa Tanjungnagara. Di masa yang sama, berkembang pula kerajaan Hindu seperti Negara Dipa di Amuntai yang dipimpin Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata, serta kerajaan Negara Daha yang kemudian melahirkan Kerajaan Banjar setelah Pangeran Samudra (Suriansyah) memeluk Islam.
Baca juga: Sejarah Martapura, Kota yang Berkilau |
Kejayaan Sultanate Brunei, Penguasa Besar Borneo (Abad ke-15-17)
Dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Kalimantan terbitan Kemendikbud (1994), memasuki abad ke-15 hingga ke-17, kekuatan dominan di Borneo beralih ke Kesultanan Brunei. Pada puncak kejayaannya, Brunei menguasai hampir seluruh bagian utara Borneo, termasuk yang kini menjadi Sabah, Sarawak, Brunei, dan sebagian wilayah pesisir Kalimantan. Perdagangan maritim menjadi tulang punggung ekonomi Brunei, terutama berkat hubungan dagang intensif dengan Tiongkok.
Pada masa yang sama, muncul pula Kesultanan Sulu, yang berawal dari kedatangan Syed Abu Bakr dari Johor pada pertengahan abad ke-15. Dalam hubungan politik regional itu, Kesultanan Brunei memberikan wilayah Borneo Utara kepada Sulu pada tahun 1703 (atau 1658 menurut beberapa sumber) sebagai balasan atas bantuan militer menumpas pemberontakan.
Namun memasuki abad ke-17, kekuatan Brunei mulai merosot. Pergeseran jalur dagang, konflik internal, dan masuknya bangsa Eropa secara agresif membuat wilayah kekuasaannya menyusut drastis.
Sebenarnya pada abad ke-16, bangsa Eropa telah datang ke Borneo sebagai bagian dari perebutan jalur perdagangan rempah. Yang tiba lebih dulu adalah Portugis pada abad ke-16, disusul oleh Belanda dan Inggris pada abad ke-17.
Perjanjian Anglo-Dutch 1824: Awal Pembelahan Pengaruh di Borneo
Perjanjian Anglo-Dutch (Perjanjian London) tahun 1824 adalah titik awal yang menentukan pembagian wilayah Borneo. Inilah momen ketika Inggris dan Belanda yang merupakan dua kekuatan kolonial besar di Asia Tenggara secara resmi membagi wilayah pengaruh mereka.
Isi pokok perjanjian yang berdampak pada Borneo:
- Belanda berkuasa di wilayah selatan, termasuk sebagian besar pulau Borneo.
- Inggris berkuasa di wilayah utara, termasuk kawasan yang kelak menjadi Sabah, Sarawak, Brunei, dan Semenanjung Malaya.
Meskipun saat itu belum ada batas negara yang resmi membagi, perjanjian inilah yang meletakkan garis pembeda utara-selatanyang kemudian menjadi dasar batas Indonesia-Malaysia-Brunei hari ini.
Inggris Perkuat Cengkeraman Lewat Dinasti White Rajah di Sarawak
Dua dekade setelah Perjanjian Anglo-Dutch, Inggris semakin memperluas pengaruhnya di Borneo. Pada 1842, James Brooke membantu Sultan Brunei menumpas pemberontakan di Sarawak. Sebagai imbalannya, ia diberi hak menguasai wilayah tersebut. Kemudian dari sinilah dimulai Dinasti White Rajahs, yaitu keluarga Brooke yang memerintah Sarawak selama kurang lebih 100 tahun.
Meski bukan kolonialis Inggris secara langsung, keluarga Brooke memimpin sebagai rezim monarki sendiri di bawah perlindungan Inggris. Ini semakin menguatkan dominasi Inggris di bagian utara Borneo.
Sabah Disewakan ke British North Borneo Company
Tiga puluh enam tahun setelah James Brooke berkuasa di Sarawak, pengaruh Inggris di wilayah utara Borneo kian melebar. Pada 1878, Sultan Sulu menyewakan wilayah Borneo Utara (kini Sabah) kepada Gustavus von Overbeck dan Alfred Dent.
Kedua tokoh ini mewakili British North Borneo Company (BNBC). Perjanjian ini membuat North Borneo dibentuk sebagai wilayah kolonial modern di bawah perusahaan Inggris.
Dengan Sarawak di bawah keluarga Brooke dan Sabah di bawah BNBC, Inggris secara efektif menguasai seluruh pesisir utara Borneo dan melengkapi pembagian yang sudah disepakati sejak 1824.
Perang Dunia II: Pendudukan Jepang dan Perlawanan Masyarakat Dayak
Pada 1941-1945, seluruh Borneo jatuh ke tangan Kekaisaran Jepang. Masa pendudukan ini menyebabkan pengaruh yang cukup besar di tanah Borneo.
Banyak bangsawan, ulama, dan intelektual Melayu dibunuh, termasuk Sultan Muhammad Ibrahim Shafi ud-din II dari Sambas pada 1944. Kesultanan Sambas juga dibubarkan dan diganti dewan bentukan Jepang. Ribuan tawanan perang Inggris dan Australia disiksa dan dibunuh. Di kamp Sandakan, hanya 6 dari sekitar 2.500 tawanan perang yang selamat.
Masyarakat Dayak berperan besar dalam melawan tentara Jepang, terutama di Kapit dan pedalaman Kalimantan. Praktik pengayauan bahkan sempat bangkit kembali sebagai bagian dari perjuangan melawan pendudukan Jepang, dibantu oleh operasi khusus Sekutu, termasuk Z Special Unit. Pada 1945, Borneo akhirnya dibebaskan oleh Sekutu.
Tugu Perabuan Jepang di Tarakan. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan |
Pembagian Wilayah setelah Perang Dunia II
Kalimantan Kembali ke Indonesia
Ketika Hindia Belanda berubah menjadi Republik Indonesia pada 1950, seluruh wilayah selatan Borneo menjadi bagian dari Indonesia.
Lahirnya Malaysia
Pada 1963, Persekutuan Malaya bergabung dengan Sabah, Sarawak, dan Singapura untuk membentuk Malaysia. Indonesia dan Filipina menolak pembentukan federasi ini. Pemerintah Indonesia di bawah Sukarno melancarkan operasi infiltrasi dan gerilya ke Sabah-Sarawak hingga 1966, dalam periode yang disebut Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Brunei Memilih tetap Sendiri
Brunei sempat diundang bergabung dalam federasi Malaysia, tetapi menolak karena perbedaan posisi ekonomi minyak, perdebatan politik internal, dan keinginan mempertahankan monarki absolut. Brunei akhirnya tetap menjadi wilayah jajahan Inggris sampai meraih kemerdekaan penuh pada 1984.
Sejak kemerdekaan tiga negara yang berbagi Borneo, pulau ini masih memiliki identitas yang sama, walaupun tidak sepenuhnya lepas dari konflik. Di Kalimantan, sejarah mencatat beberapa kerusuhan etnis dan agama dalam beberapa dekade terakhir yang menunjukkan kompleksitas sosial kawasan ini.
Meskipun terbelah menjadi tiga negara, Borneo tetap memiliki satu kesatuan ekologis dan budaya. Masyarakat Dayak, Melayu, dan berbagai kelompok etnis lainnya tetap berinteraksi, dan berbagi tradisi walau terpisah batas wilayah. Jejak sejarah panjang inilah yang menjadikan Borneo salah satu pulau dengan warisan budaya, politik, dan ekologis paling kaya di Asia Tenggara.
(des/des)


