Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Aksi Kamisan di Kalimantan Tengah (Kalteng), memberikan respons soal Soeharto dan Marsinah yang mendapat gelar Pahlawan Nasional pada Senin (10/11/2025).
Sejumlah poin kritik dan pandangan dibeberkan. Mereka menyoroti dinamika di era Orde Baru yang dipimpin Soeharto, serta penyandingan gelar pahlawan antara Soeharto dan Marsinah. Ketua DPD GMNI Kalteng, Maulana, menuturkan gelar Pahlawan Nasional merupakan simbol penghormatan tertinggi dari negara, kepada orang-orang yang berjuang demi kepentingan masyarakat dan nasional.
"Gelar itu tidak boleh diberikan atas dasar romantisme pembangunan fisik semata," ujar Maulana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maulana menegaskan sebagai organisasi yang berhaluan Marhaenisme, sangat berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Ia menilai pemberian gelar pada Soeharto berpotensi mengaburkan fakta-fakta selama masa Orde Baru. Melansir jurnal di Universitas Sebelas Maret, Marhaenisme merupakan ideologi politik yang dipelopori Soekarno sebagai Presiden pertama Indonesia, yang berfokus pada perjuangan nasib rakyat kecil.
"GMNI berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Pemberian gelar pada Soeharto cenderung mendistorsi sejarah dan penghinaan terhadap korban penindasan selama rezim Orde Baru," terangnya.
Ketua Cabang GMNI Kota Palangka Raya, Dida Pramida menilai rezim Soeharto bertentangan dengan cita-cita Bung Karno akan proklamasi kemerdekaan Indonesia. "Sosok Soeharto serta rezim Orde Baru yang dipimpinnya selama 32 tahun adalah antitesis dari cita-cita proklamasi dan ajaran Trisakti Bung Karno," ujarnya.
Sementara itu, anggota Aksi Kamisan Kalteng, Aminudin menjelaskan pemberian gelar pahlawan pada Marsinah dan Soeharto dinilai kontradiktif.
"Pemberian gelar pahlawan pada Marsinah dan Soeharto sangat kontradiktif karena Marsinah adalah korban pelanggaran HAM berat di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto," ujar Aminudin.
"Kami menolak upaya pemutihan dosa Orde Baru melalui pemberian gelar Pahlawan Soeharto. Sebaliknya, Marsinah lah yang justru diakui sebagai simbol perjuangan buruh dan korban yang memperjuangkan keadilan," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana atau Tutut Soeharto, putri Presiden kedua RI Soeharto, menanggapi tentang munculnya pro dan kontra terkait pemberian gelar pahlawan bagi ayahnya. Menurut Tutut, pro kontra wajar terjadi, tetapi yang terpenting jangan sampai merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Dilansir detikNews, Tutut turut menghadiri penganugerahan gelar pahlawan nasional di Istana Negara pada Senin (10/11). Soeharto menjadi salah satu dari 10 nama yang dianugerahi gelar pahlawan nasional. Penganugerahan gelar dilaksanakan secara langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
"Kami tadi sampaikan terima kasih kepada Bapak Presiden dan masyarakat Indonesia, kepada seluruh yang telah mendukung. Untuk yang kontra dan belum mendukung kami juga keluarga tidak merasa dendam, kecewa atau gimana. Memang kita negara kita kan kesatuan, banyak macam-macamnya ya monggo-monggo saja," ujarnya usai penganugerahan gelar pahlawan nasional, Senin (10/11/2025).
Tutut mengatakan pro dan kontra wajar terjadi di kalangan masyarakat Indonesia yang beragam. Namun, ia mengajak semua pihak untuk juga bersama-sama melihat kembali apa yang telah dilakukan oleh mendiang ayahnya selama mengabdi bagi bangsa dan negara.
"Masyarakat Indonesia itu kan macam-macam ya, ada yang pro ada yang kontra itu wajar-wajar saja. Yang penting kan kita melihat apa yang telah dilakukan bapak saya dari sejak muda sampai beliau wafat, itu semua perjuangan untuk negara dan masyarakat Indonesia," katanya.
Simak Video "Video: Soeharto Masuk Daftar 10 Penerima Gelar Pahlawan Nasional"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/des)
