Angka Kelahiran Rendah di Sebagian Wilayah Korea Selatan, Kenapa?

Angka Kelahiran Rendah di Sebagian Wilayah Korea Selatan, Kenapa?

Khadijah Nur Azizah - detikKalimantan
Senin, 11 Agu 2025 17:01 WIB
Ilustrasi bayi dan nenek
Foto: Getty Images/iStockphoto/miodrag ignjatovic
Balikpapan -

Sebanyak kurang dari 10 bayi tercatat lahir sepanjang tahun lalu di sepertiga wilayah Korea Selatan. Dikutip detikHealth dari Layanan Peninjauan dan Penilaian Asuransi Kesehatan, Korea Selatan mencatat 237.484 kelahiran di rumah sakit dan pusat bidan tahun lalu.

Dari 251 kota, kabupaten, dan distrik, sebanyak 97 di antaranya atau 38,6 persen, mencatat kurang dari 10 kelahiran dalam setahun. Wilayah tersebut bahkan dijuluki 'gurun kelahiran', sebab mencakup daerah berpenduduk jarang hingga beberapa kota kecil. Di antaranya adalah Gwacheon, Dongducheon, dan Anseong di Provinsi Gyeonggi; Taebaek di Provinsi Gangwon; serta Gimje di Jeolla Utara.

Ironisnya, temuan ini muncul di tengah adanya kenaikan langka dalam jumlah kelahiran nasional. Statistik Korea melaporkan bahwa angka kelahiran naik secara tahunan selama 11 bulan berturut-turut hingga Mei, didorong oleh peningkatan pernikahan dan berbagai kebijakan pemerintah yang mendorong kelahiran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Januari hingga Mei, Korea Selatan mencatat 106.058 kelahiran, naik 6,9 persen dari periode yang sama tahun lalu. Angka ini menjadi tingkat pertumbuhan tercepat sejak pengumpulan data dimulai pada tahun 1981. Meski begitu, masalah kesenjangan regional tetap menjadi tantangan besar.

Angka kelahiran yang rendah tersebut umumnya mencerminkan tidak tersedianya fasilitas persalinan, bukan berarti tidak ada bayi yang lahir. Banyak ibu hamil terpaksa pergi ke kota lain untuk melahirkan karena layanan kebidanan di daerah mereka tidak tersedia.

Berdasarkan data Statistik Korea, hanya dua wilayah di Provinsi Gyeongsang Utara yakni Kabupaten Yeongyang dan Kabupaten Ulleung, yang mencatat jumlah bayi terdaftar sebagai penduduk kurang dari 50 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dari 95 wilayah lainnya memilih melahirkan di daerah lain, kemudian mendaftarkan kelahiran anak mereka di wilayah tempat tinggal.

Para pakar menilai, mempertahankan fasilitas persalinan di wilayah dengan jumlah pasien sangat sedikit sulit dilakukan secara finansial, bahkan jika mendapat dukungan subsidi dari pemerintah.

"Pemerintah memang telah lama mendukung daerah dengan infrastruktur bersalin yang lemah, tetapi jika jumlah persalinan tetap rendah, sulit bagi rumah sakit untuk terus beroperasi," ujar Yoon Seok-jun, seorang profesor dari Korea University College of Medicine kepada Korea Times.

Sebagai solusinya, ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada penguatan transportasi darurat dan membangun jaringan rujukan yang menghubungkan klinik lokal dengan rumah sakit yang lebih besar. Hal ini dinilai lebih efektif untuk memastikan perempuan dapat melahirkan dengan aman, alih-alih mencoba mempertahankan fasilitas yang tidak berkelanjutan.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads