Ngerinya Kanker Organ Pencernaan yang Ancam Generasi X-Milenial

Ngerinya Kanker Organ Pencernaan yang Ancam Generasi X-Milenial

Nafilah Sri Sagita K - detikKalimantan
Selasa, 17 Jun 2025 22:00 WIB
Ultrasound scanning performed by healthcare professional
Ilustrasi USG Kanker. Foto: Getty Images/Gopakumar Sudhir
Balikpapan -

Kasus kanker usus buntu semakin banyak ditemukan pada generasi X dan milenial. Dikutip detikHealth dari CNN, satu contohnya menimpa Chris Williams.

Pria ini pada tahun 2021 mendatangi rumah sakit dengan keluhan nyeri perut berdenyut disertai mual. Keesokan harinya, rasa sakit yang ia alami semakin parah.

Di rumah sakit, dokter mendiagnosisnya mengalami radang usus buntu dan segera menjalankan operasi pengangkatan. Seminggu kemudian, saat kontrol untuk melepas staples dan membahas tindak lanjut, Williams menerima kabar mengejutkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mereka menemukan tumor di usus buntu saya, dan melakukan biopsi terhadap tumor itu, memastikan bahwa itu adalah kanker," kata Williams, yang berusia 48 tahun saat itu, dikutip dari CNN, Selasa (17/6/2025).

Williams menganggap hal itu sebagai berkah terselubung. Tumor tersebut ternyata telah memicu radang yang nyaris menyebabkan usus buntunya pecah, sehingga keberadaan kanker bisa terdeteksi.

Setelah diperiksa lebih lanjut, kanker tersebut sudah mencapai stadium III. Jika lebih lama tidak diketahui, kondisinya bisa berkembang menjadi stadium IV yang jauh lebih sulit ditangani.

Setelah menjalani pengobatan dan dinyatakan bebas kanker pada November 2022, Williams menjadi bagian dari kelompok pasien kanker usus buntu yang jumlahnya terus bertambah di AS, dan banyak di antaranya terdiagnosis di usia yang relatif muda.

Walau kasus kanker usus buntu tergolong jarang, hanya memengaruhi 1-2 orang dari tiap satu juta penduduk AS per tahun, riset terbaru menunjukkan lonjakan signifikan di kalangan generasi X dan milenial.

Dibandingkan dengan mereka yang lahir antara tahun 1941-1949, insiden kanker usus buntu meningkat tiga kali lipat pada individu kelahiran 1976-1984, dan empat kali lipat untuk mereka yang lahir antara 1981-1989. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Annals of Internal Medicine dan mencakup data dari 1975 hingga 2019.

"Secara keseluruhan, ini mengkhawatirkan," kata dr Andreana Holowatyj, penulis utama studi dan asisten profesor hematologi dan onkologi di Vanderbilt University Medical Center dan Vanderbilt-Ingram Cancer Center.

"Kami melihat beberapa efek generasional ini untuk kanker usus besar, rektum, lambung, dan itulah salah satu alasan mengapa kami ingin meneliti hal ini pada kanker usus buntu yang langka. Namun, tingkat dan tren yang kami amati mengkhawatirkan dan mengkhawatirkan," katanya.

Menurut Holowatyj, fenomena peningkatan kanker ini juga terlihat pada jenis kanker lain di saluran cerna seperti kanker usus besar, rektum, dan lambung. Inilah yang mendorong mereka untuk menyelidiki tren serupa pada kanker usus buntu, meskipun jenis kanker ini lebih langka.

Penelitian ini melibatkan data dari 4.858 pasien kanker usus buntu di AS, berusia 20 tahun ke atas, yang tercatat antara tahun 1975-2019 dalam basis data Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) milik National Cancer Institute. Data dibagi ke dalam kelompok usia lima tahunan dan menunjukkan peningkatan kejadian terutama pada mereka yang lahir setelah 1945.

Meski penelitian tidak secara spesifik mengidentifikasi penyebab peningkatan kasus, para ahli yakin lonjakan ini tidak semata-mata karena kemajuan dalam alat diagnosis atau metode skrining. Sebab, belum ada metode skrining standar untuk kanker usus buntu, dan kasus biasanya terdeteksi secara tidak sengaja saat pasien mengalami radang usus buntu akut.

Para peneliti menduga tren ini berkaitan dengan faktor lingkungan yang bisa meningkatkan risiko kanker, terutama pada generasi yang kini memasuki usia dewasa pertengahan. Kondisi serupa juga dilaporkan terjadi pada jenis kanker gastrointestinal lainnya, yang menunjukkan adanya kemungkinan faktor risiko bersama.

Obesitas, misalnya, diketahui sebagai salah satu faktor risiko kanker usus buntu, sekaligus juga berkaitan dengan kanker usus besar. Holowatyj menekankan bahwa mengidentifikasi faktor-faktor ini sangat penting untuk membantu upaya pencegahan di masa mendatang.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads