Terasing di Tanah Sendiri: Kisah Ulo Njau dan Harapan Suku Punan di Long Tungu

Terasing di Tanah Sendiri: Kisah Ulo Njau dan Harapan Suku Punan di Long Tungu

Oktavian Balang - detikKalimantan
Minggu, 11 Mei 2025 23:00 WIB
Warga Suku Punan, Ulo Njau bersama keluarga
Warga Suku Punan, Ulo Njau bersama keluarga (Foto: Oktavian Balang)
Bulungan -

Sungai Bkiyau yang jernih mengalir di antara bebatuan, menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Suku Punan di RT 08, Desa Long Tungu, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara

Di tengah keindahan alam yang memukau, ketimpangan dan keterasingan masih menyelimuti kehidupan komunitas ini.

Ulo Njau, seorang warga Punan yang telah menetap di wilayah ini selama 20 tahun, menceritakan realitas pahit yang dihadapi komunitasnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami dulu hidup berpindah-pindah, berburu babi untuk bertahan. Sekarang kami menetap, tapi tantangan tak pernah usai," ujar Ulo Njau.

Pria yang kini tinggal bersama keluarganya di pemukiman sederhana ini mengisahkan bagaimana perubahan lingkungan dan sosial mempengaruhi kehidupan Suku Punan.

Tantangan Akses dan Mata Pencaharian

Untuk mencapai pemukiman RT 08, perjalanan selama 1,5 jam dengan perahu ketinting diperlukan, melewati aliran sungai Bkiyau yang penuh rintangan.

Dengan populasi sekitar 56 jiwa dari 16 keluarga, komunitas ini hidup tanpa fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun jaringan listrik.

"Kami ingin anak-anak sekolah, tapi sekolah jauh. Listrik juga tidak ada, malam kami hanya pakai lampu minyak," keluh Ulo.

Masyarakat Punan KM 5 menggunakan perahu ketinting sebagai transportasiMasyarakat Punan KM 5 menggunakan perahu ketinting sebagai transportasi Foto: Oktavian Balang

Mata pencaharian masyarakat Punan bergantung pada hasil alam, seperti pertanian dan perburuan. Namun, ekspansi perusahaan sawit di sekitar wilayah mereka mengancam sumber pangan.

Ulo pernah mengirim anaknya bekerja di perkebunan, tetapi sang anak dipulangkan dengan alasan tidak jelas."Katanya terlalu muda, padahal dia sudah cukup kuat bekerja," ungkapnya dengan nada kecewa.

Tak hanya itu, hasil panen seperti cabai sering dijual dengan harga murah oleh pengepul."Cabai seharusnya Rp60.000 per kilo, tapi kami hanya dapat Rp20.000. Kami tidak tahu cara dapat harga lebih baik," tutur Ulo.

Biaya transportasi untuk menjual hasil panen juga menjadi beban, dengan ongkos bahan bakar ketinting mencapai Rp50.000 sekali perjalanan.

Pemandangan RT 08, Km 5, Desa Long Tunggu dari UdaraPemandangan RT 08, Km 5, Desa Long Tunggu dari Udara Foto: Oktavian Balang

Pendidikan dan Kesehatan yang Terabaikan

Pendidikan menjadi mimpi yang sulit diraih bagi anak-anak Punan. Ulo mengaku tak ada anggota keluarganya yang menyelesaikan pendidikan di atas kelas 5 SD.

"Anak-anak harus ke Long Tungu untuk sekolah, tapi kami sulit mengawasi mereka. Banyak yang akhirnya berhenti," ujarnya.

Di pemukiman lain seperti Berun, meski ada gedung sekolah, guru hanya datang dua minggu sekali, membuat anak-anak lebih sering bermain ketimbang belajar.

Kesehatan juga menjadi isu krusial. Akses ke rumah sakit di Tanjung Selor membutuhkan perjalanan lima jam, dengan biaya yang tak terjangkau bagi sebagian besar warga.

"Kami sering pakai obat tradisional karena ke dokter mahal dan jauh," kata Ulo.

Meskipun ada program BPJS, banyak warga kesulitan mengurus administrasi. Sebagai alternatif, mereka mencari pengobatan di Long Beluah, yang menawarkan tempat tinggal selama perawatan.

Harapan di Tengah Keterbatasan

Meski hidup dalam keterbatasan, solidaritas antarwarga menjadi kekuatan komunitas ini."Kalau ada yang tidak punya uang untuk ketinting, kami saling bantu. Kami satu keluarga di sini," ungkap Ulo dengan senyum tipis.

Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib Suku Punan, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan."Kami ingin anak-anak kami punya masa depan lebih baik, tapi kami butuh bantuan," tambahnya.

Halaman 2 dari 2
(mud/mud)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads