Kisah cinta Mohammad Hatta dan Rachmi Hatta bukan sekedar catatan sejarah keluarga seorang tokoh bangsa. Hubungan mereka adalah cermin dari cinta yang sederhana dan berakar pada nilai, bukan sekedar rasa.
Di tengah riuh politik kemerdekaan, Bung Hatta menyimpan satu janji pribadi: ia baru akan menikah setelah Indonesia merdeka. Dan ia menepatinya, seperti semua janji lain yang ia buat untuk rakyat.
Sebelum Bertemu Rachmi: Janji Hatta Menunda Cinta Demi Bangsa
Sebagai tokoh penting dalam kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta dikenal luas karena kecerdasannya, prinsip hidupnya yang teguh, dan ketelitiannya dalam berpikir.
Sejak muda, ia bukan hanya aktif dalam politik pergerakan, tapi juga seorang intelektual ulung yang hobi membaca dan menulis. Namun, di balik semua aktivitas kenegaraan itu, Hatta menyimpan keinginan personal yang sederhana: membangun rumah tangga setelah tanah airnya bebas dari penjajahan.
Dalam catatan sejarah dan buku biografi "Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi" karya Bung Hatta sendiri, ia menyatakan bahwa sejak lama telah memutuskan untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka.
Bagi Hatta, membangun bangsa adalah prioritas utama, dan ia tidak ingin membagi perhatian antara tugas negara dan kehidupan rumah tangga. Selama perjuangan, ia menjalani masa lajang dengan tenang, bahkan teman-teman seperjuangannya sempat menggoda keputusan keras itu. Bung Karno bahkan beberapa kali menyindirnya sebagai "perjaka abadi."
Pertemuan dengan Rachmi dan Awal Kisah Cinta yang Sederhana
Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, barulah Hatta membuka hatinya untuk memikirkan urusan pribadi. Melalui perantara keluarga dan teman dekat, ia kemudian diperkenalkan dengan Rachmi Rachim, seorang gadis muda berusia 19 tahun. Saat itu, Bung Hatta telah berusia 43 tahun.
Meski terpaut usia 24 tahun, komunikasi mereka berjalan baik sejak awal. Rachmi yang muda, ceria, dan lembut memberikan kehangatan bagi Hatta yang cenderung pendiam dan serius.
Bung Hatta tidak berlama-lama. Ia mengirimkan surat lamaran berisi niat menikah dan juga menjelaskan prinsip-prinsip hidupnya kepada Rachmi. Dalam surat itu, ia tidak menjanjikan kemewahan, melainkan kehidupan rumah tangga yang sederhana namun penuh makna.
Mereka menikah pada 18 November 1945 di Megamendung, Bogor. Presiden Soekarno menjadi saksi nikahnya. Resepsi pun sangat sederhana, mencerminkan gaya hidup Bung Hatta yang merakyat.
Mahar Berupa Buku yang Ditulis Sendiri
Mahar yang diberikan Mohammad Hatta kepada Rachmi Rachim kala itu adalah buku karangannya sendiri berjudul Alam Pikiran Yunani-sebuah buku terjemahan dan karya ilmiah Bung Hatta yang mengulas filsafat Yunani kuno.
Pemberian buku ini bukan karena Bung Hatta pelit atau tidak mampu membeli mahar dalam bentuk lain, tapi karena Ia ingin memberi sesuatu yang mencerminkan nilai, ilmu, dan prinsip hidupnya. Buku itu menjadi simbol dari siapa Hatta sebenarnya, sebagai seorang pemikir, seorang intelektual, dan seorang idealis.
Pilihan mahar ini juga memperlihatkan bahwa sejak awal, hubungan Hatta dan Rachmi dibangun di atas pemahaman, bukan kemewahan. Dan Rachmi menerima itu dengan tulus, karena ia memang mencintai sosok Hatta yang sederhana.
(des/des)