Bulan Suro merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa-Islam yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Kata "Suro" sendiri berasal dari istilah Arab "Asyura", yang merujuk pada tanggal 10 Muharram. Namun, bagi masyarakat Jawa, bulan ini lebih dari sekadar penanda waktu. Bulan Suro sarat dengan makna spiritual, kepercayaan budaya, dan larangan-larangan khusus yang dijunjung tinggi secara turun-temurun.
Asal Usul dan Makna Bulan Suro
Kalender Jawa yang menggabungkan unsur Islam dan budaya lokal diperkenalkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1633 Masehi. Tujuannya adalah untuk mempersatukan masyarakat Jawa melalui pendekatan spiritual dan kultural. Sejak saat itu, bulan Suro dianggap sebagai waktu yang sakral, penuh energi mistis, serta menjadi momen refleksi dan penyucian jiwa.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro dikenal sebagai "bulan prihatin". Pada bulan ini, dianjurkan untuk melakukan tirakat, tapa, dan laku spiritual lainnya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Sang Pencipta. Mereka juga meyakini bahwa dunia gaib dan dunia manusia berada dalam frekuensi yang saling bersinggungan selama bulan Suro, sehingga berbagai pantangan muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan spiritual tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pantangan di Bulan Suro yang Masih Diyakini Masyarakat Jawa
Berikut adalah beberapa pantangan bulan Suro yang umum diyakini oleh masyarakat Jawa:
- Dilarang Menikah di Bulan Suro
Menikah pada bulan Suro dipercaya membawa sial, perceraian, atau konflik dalam rumah tangga. Oleh karena itu, banyak keluarga yang memilih untuk menunda pernikahan hingga bulan lain. - Dilarang Pindah Rumah
Masyarakat Jawa menganggap pindah rumah pada bulan Suro bisa mendatangkan ketidaknyamanan, energi negatif, hingga gangguan spiritual di tempat tinggal baru. - Dilarang Membangun Rumah
Membangun rumah di bulan ini diyakini akan membawa kesialan, mengganggu keharmonisan keluarga, atau membuat rumah rawan kerusakan. - Dilarang Bepergian Jauh
Bepergian jauh selama bulan Suro dianggap berisiko tinggi. Banyak yang percaya bahwa perjalanan jarak jauh bisa menimbulkan kecelakaan atau gangguan dari makhluk halus. - Dilarang Melakukan Khitan (Sunat)
Beberapa daerah di Jawa menghindari prosesi khitan di bulan Suro karena diyakini bisa menyebabkan gangguan kesehatan pada anak atau membawa energi buruk. - Dilarang Mengadakan Hajatan atau Acara Besar
Acara seperti tujuh bulanan, selamatan desa, hingga pertunjukan hiburan sebaiknya dihindari. Masyarakat percaya acara-acara besar bisa mengganggu keseimbangan spiritual bulan ini. - Dilarang Berbicara Kasar dan Melakukan Perbuatan Tercela
Karena bulan Suro dianggap suci, menjaga perilaku dan tutur kata adalah bentuk penghormatan terhadap nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. - Dilarang Memotong Kuku dan Rambut di Malam Hari
Memotong kuku dan rambut pada malam hari selama bulan Suro diyakini dapat mengundang gangguan makhluk halus atau mendatangkan kesialan. - Dilarang Melangkahi Sesajen
Sesajen yang dipersembahkan untuk leluhur atau makhluk halus tidak boleh dilangkahi. Melanggarnya dianggap sebagai penghinaan yang bisa mengundang marabahaya.
Hikmah di Balik Pantangan Bulan Suro
Meski banyak pantangan bulan Suro terdengar mistis, sejatinya larangan-larangan ini mengandung nilai kearifan lokal yang mengajarkan masyarakat untuk:
- Menjadi pribadi yang lebih mawas diri.
- Menjaga hubungan harmonis dengan alam semesta.
- Menghormati leluhur dan nilai-nilai tradisional.
- Menjalani hidup dengan lebih disiplin dan penuh kesadaran.
Dengan mengetahui pantangan bulan suro masyarakat bisa mengambil manfaat dan nilai baik warisan dan budaya leluhur.
(auh/ihc)