Tujuh pendaki ilegal yang nekat mendaki Gunung Semeru akhirnya meminta maaf atas tindakan mereka yang menyalahi aturan. Mereka juga siap menerima konsekuensi hukum yang berlaku.
Permintaan maaf tersebut disampaikan oleh ketujuh pendaki, yang dibacakan salah satu pendaki, Muhammad Agip. Permintaan maaf ini juga diunggah Agip melalui akun Instagram @Agipmuhammad.
Dalam pernyataannya, mereka mengakui telah melakukan pendakian melalui jalur ilegal dan membuat informasi yang tidak benar sehingga menimbulkan kegaduhan di media sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami telah diperiksa di kantor Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan sangat menyesal atas tindakan kami tersebut. Tindakan kami bukanlah tindakan yang benar dan tidak patut dicontoh," tulis Agip, Rabu (26/2/2025).
Selain itu, mereka juga mengimbau para pencinta alam dan pendaki lainnya untuk selalu mengikuti jalur resmi dalam melakukan pendakian. Sebagai bentuk tanggung jawab, masing-masing pendaki akan melakukan penanaman 20 bibit pohon dan mendokumentasikan kegiatan tersebut di media sosial.
"Kami memohon maaf kepada kepada seluruh pihak yang dirugikan atas kegaduhan yang telah di timbulkan. Kami siap menerima konsekuensi hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku," imbuhnya.
Pengungkapan Kasus Pendakian Ilegal
Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TNBTS, Septi Eka Wardhani menjelaskan, kasus pendakian ilegal ini terungkap setelah video mereka viral di media sosial pada 21 Januari 2025 lalu. Pihaknya kemudian melakukan penyelidikan hingga berhasil mengidentifikasi para pelaku.
"Pada 3 Februari 2025, kami kirimkan surat panggilan kepada para pelaku untuk dilakukan klarifikasi. Mereka baru memenuhi panggilan pertama pada 17 Februari dan 25 Februari kemarin. Mereka mengakui bahwa telah melakukan pendakian di jalur ilegal," ungkap Septi.
Pendakian ilegal tersebut dilakukan pada 17 sampai 18 Januari 2025, saat jalur pendakian Gunung Semeru sedang ditutup akibat cuaca buruk.
Para pelaku yang berasal dari berbagai daerah itu adalah Setiabudi asal Yogyakarta, Imam Tantowi asal Pasuruan, Triyono asal Klaten, Joko Supriatno asal Boyolali, Titis Purna Saputra asal Sukoharjo, Suroto asal Karanganyar, dan Muhammad Agip asal Solo.
Balai Besar TNBTS menegaskan bahwa pendakian tanpa izin merupakan pelanggaran yang dapat membahayakan diri sendiri dan merusak ekosistem di kawasan taman nasional. Kasus ini menjadi pengingat bagi para pendaki agar selalu menaati aturan demi keselamatan bersama dan kelestarian alam.
(hil/iwd)