Sebagai daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan, Kabupaten Banyuwangi memiliki kebudayaan yang sangat beragam. Kebudayaan tersebut diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, hingga Eropa.
Salah satu produk kebudayaan Kabupaten Banyuwangi adalah Tari Gandrung. Melansir laman Kemdikbud, Tari Gandrung menjadi ungkapan rasa syukur masyarakat Kabupaten Banyuwangi setiap habis panen.
Tari Gandrung dipentaskan dalam bentuk berpasangan antara penari perempuan dan laki-laki. Tari Gandrung biasanya diiringi dengan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menarik minat masyarakat dan generasi muda terhadap Tari Gandrung, beberapa seniman dan pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengadakan Festival Gandrung Sewu. Festival ini menampilkan lebih dari seribu penari Gandrung.
Sejarah Festival Gandrung Sewu
Mengutip sebuah studi dari Universitas Jember, cikal bakal Festival Gandrung Sewu telah ada sejak 1970-an. Saat itu, Bupati Banyuwangi Djoko Supaat Slamet membuat kebijakan untuk merevitalisasi kebudayaan daerah.
Hal ini karena Bupati Djoko Supaat Slamat menginginkan agar kesenian asli Kabupaten Banyuwangi dapat dikembangkan kembali. Mulai dari lagu-lagu daerah hingga beberapa kesenian seperti Tari Gandrung.
Pada Juli 1974, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengadakan Festival Gandrung untuk pertama kalinya. Pemenang dalam festival tersebut kemudian melakukan rekaman di tahun 1975.
Kemudian, para seniman dan budayawan Kabupaten Banyuwangi membentuk Dewan Kesenian Blambangan (DKB) pada tahun 1978. Pembentukan DKB bertujuan untuk melestarikan dan menjaga seni budaya Kabupaten Banyuwangi.
Sayangnya, Festival Gandrung tersebut tidak berkelanjutan pada tahun-tahun selanjutnya. Hingga pada tahun 2012, Bupati Abdullah Azwar Anas ingin meneruskan kembali kebijakan Djoko Supaat Slamet dalam mengembangkan dan melestarikan kesenian asli Kabupaten Banyuwangi.
Maka dari itu, Anas meminta bantuan kepada para seniman Kabupaten Banyuwangi untuk membuat atau mengadakan sebuah pertunjukan yang spektakuler. Akhirnya, dibentuklah Festival Gandrung Sewu.
Pencetus ide Festival Gandrung Sewu adalah Paguyuban Pelatih Seniman dan Tari Banyuwangi (Patih Senawangi) yang diketuai oleh Suko Prayitno.
Sebenarnya, istilah Festival Gandrung Sewu sudah dikemukakan sejak tahun 2006. Namun, Festival Gandrung Sewu tidak dapat langsung dilaksanakan karena kekurangan jumlah pakaian dan penari.
Festival Gandrung Sewu baru mulai diselenggarakan pada 2012 yang bertempat di Pantai Boom Kabupaten Banyuwangi. Tujuan dasar Festival Gandrung Sewu adalah untuk mempersatukan aneka ragam perbedaan kultur di Kabupaten Banyuwangi.
Festival Gandrung Sewu melibatkan lebih dari seribu penari Gandrung dari jenjang SD, SMP, dan SMA yang memiliki tinggi badan minimal 140 cm.
Pada 2013, Patih Senawangi berusaha keras agar Festival Gandrung Sewu dapat tetap terlaksana dengan baik. Saat itu, Patih Senawangi sempat kesulitan dalam mencari bantuan untuk keperluan Festival Gandrung Sewu karena tidak mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Di tahun berikutnya, Pemkab kembali ikut andil dalam pelaksanaan Festival Gandrung Sewu. Pemkab juga menetapkan sejumlah peraturan yang harus dijalankan agar Festival Gandrung Sewu lebih tertata dengan lebih baik.
Dalam pelaksanaan Festival Gandrung Sewu, Pemkab beserta para seniman pasti mengangkat tema yang berbeda-beda.
Berikut tema Festival Gandrung Sewu dari tahun ke tahun:
Festival Gandrung Sewu 2012
Tahun 2012, Festival Gandrung Sewu mengambil tema Jejer Gandrung yang berkisah tentang sejarah kelahiran Tari Gandrung. Jejer Gandrung merupakan bagian pembuka dari Tari Gandrung Terob yang menyajikan tari lincah dengan menonjolkan gerak pinggul dan getar jari.
Festival Gandrung Sewu 2013
Festival Gandrung Sewu tahun 2013 mengusung tema Paju Gandrung yang menceritakan kehidupan penari Gandrung di masa lalu. Paju Gandrung juga merupakan bagian dari Tari Gandrung Terob.
Festival Gandrung Sewu 2014
Pada tahun 2014, Festival Gandrung Sewu memilih tema Seblang Subuh yang menceritakan asal-usul Tari Gandrung pada masa pemerintahan Bupati Pringgokusumo. Seblang Subuh merupakan bagian terakhir dari Tari Gandrung Terob.
Festival Gandrung Sewu 2015
Festival Gandrung Sewu tahun 2015 mengusung tema Podo Nonton yang menceritakan perjuangan masyarakat Kabupaten Banyuwangi pada masa penjajahan Belanda. Dalam masa itu, muncul sosok yang menjadi pemimpin perlawanan yakni Rempeg Jogopati.
Festival Gandrung Sewu 2016
Beranjak ke tahun 2016, Festival Gandrung Sewu memilih tema Seblang Lukinto. Tema tersebut merupakan kelanjutan dari Festival Gandrung Sewu sebelumnya yang mengisahkan kebangkitan sisa-sisa prajurit Rempeg Jogopati untuk melawan para penjajah.
Festival Gandrung Sewu 2017
Tahun 2017, Festival Geandrung Sewu kembali mengusung tema dari gending pengiring Tari Gandrung yaitu Kembang Pepe. Tema tersebut menitikberatkan penggunaan Tari Gandrung sebagai siasat untuk melawan para penjajah.
Festival Gandrung Sewu 2018
Festival Gandrung Sewu tahun 2018 mengangkat tema Layar Kumendung. Layar Kumendung merupakan salah satu gending pengiring Tari Gandrung. Tema ini tak hanya menyajikan kemegahan Tari Gandrung, tetapi juga drama kepahlawanan.
Festival Gandrung Sewu 2019
Tahun 2019, Festival Gandrung Sewu mengusung tema Panji Sunangkoro yang mengisahkan perlawanan prajurit Rempeg Jogopati terhadap Belanda.
Festival Gandrung Sewu 2021
Setelah sempat ditiadakan pada tahun 2020, Festival Gandrung Sewu 2021 digelar di 24 kota dari 16 provinsi. Festival ini melibatkan Ikatan Keluarga Banyuwangi yang ada di penjuru Nusantara dan Hong Kong. Oleh sebab itu, Festival Gandrung sewu 2021 bertajuk Gandrung Sewu Nusantara.
Festival Gandrung Sewu 2022
Di tahun 2022, Festival Gandrung Sewu akan dihelat pada 29 Oktober dengan mengusung tema Sumunare Tlatah Blambangan yang bermakna Kilau Bumi Blambangan. Tema ini diambil sebagai spirit kebangkitan Kabupaten Banyuwangi seusai menghadapi pandemi.
Simak Video "Memakai Pakaian Tari Gandrung yang Berornamen Gajah Oling di Banyuwangi"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/iwd)