Kerusuhan yang terjadi setelah laga Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu (1/10/2022), menjadi catatan kelam bagi dunia sepakbola Indonesia. Kerusuhan berawal dari kekecewaan suporter Arema.
Hingga saat ini ada 174 orang meninggal. Kemudian ada 11 orang luka berat dan 298 orang luka ringan.
Jumlah itu merupakan yang terbesar dalam sejarah kerusuhan sepakbola Indonesia. Tragedi Kanjuruhan disebut jauh lebih mengerikan dari tragedi Heysel di Brussel, Belgia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tragedi Heysel 1985
![]() |
Pada saat itu, sedang berlangsung pertandingan antara Juventus melawan Liverpool di Piala Champions. Suporter Juventus maupun Liverpool yang sudah memadati tribun penonton, saling menyanyikan mars kebanggaan sembari mengibarkan bendera kesebelasan.
Namun sebelum pertandingan dimulai, suporter Liverpool menjebol pagar pemisah sehingga banyak suporter Juventus yang tertiban. Kedua kubu akhirnya saling serang. Bahkan mereka turun ke lapangan stadion untuk melampiaskan amarah satu sama lain.
Polisi sempat kewalahan menghadapi amuk para suporter yang makin menggila. Ketika kerusuhan tersebut sedikit terkendali, kapten Juventus dan Liverpool mengajak para suporter agar tenang. Setelah itu, Juventus dan Liverpool akhirnya dapat bermain dengan waktu penuh. Pertandingan dimenangkan oleh Juventus dengan skor 1-0.
Akibat tragedi Heysel, ratusan orang terluka dan 39 orang meninggal dunia. Selain itu, UEFA (Union of European Football Associations) menjatuhkan sanksi keras berupa larangan bagi seluruh klub sepakbola Inggris untuk mengikuti kompetisi di level Eropa. Adanya sanksi keras tersebut membuat para suporter kembali berbenah dan memperbaiki diri.
Kronologi Tragedi Kanjuruhan
Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang bermula dari para suporter yang kecewa atas kekalahan Arema FC dari Persebaya dengan skor 2-3.
Para suporter Arema lalu turun ke lapangan dan berusaha mencari para pemain untuk melampiaskan kekecewaannya. Namun, polisi melakukan upaya pencegahan dan melakukan pengalihan dengan menembakkan gas air mata.
Akibatnya, mayoritas suporter mengalami kepanikan dan sesak napas. Sebanyak 34 orang meninggal di dalam stadion. Sementara korban lain meninggal di rumah sakit saat proses pertolongan.
Selain itu, ada dua anggota polisi yang turut menjadi korban dalam tragedi Kanjuruhan. Yakni Briptu Fajar Yoyok Pujiono yang merupakan anggota Polsek Dongko-Trenggalek, dan Brigadir Andik Purwanto anggota Polsek Sumbergempol, Tulungagung.
Jika benar gas air mata dipakai untuk membubarkan kerusuhan di stadion, maka itu merupakan pelanggaran terhadap aturan FIFA (Federation International de Football Association), yang tidak memperbolehkan gas air mata dipakai di stadion.
Tragedi Kanjuruhan dikhawatirkan akan membawa sanksi yang memengaruhi keikutsertaan Indonesia di ajang kompetisi internasional tersebut.
(sun/dte)