Sepakbola adalah olahraga universal. Digandrungi segala usia di semua wilayah, termasuk di Indonesia. Khususnya para pencinta sepakbola Surabaya yang punya tim kebanggaan bernama Persebaya.
Namun tidak semua penggemar sepakbola dan pencinta klub sepakbola yang tahu cikal bakal pembentukan klub sepakbola kesayangan mereka. Termasuk bagaimana Persebaya Surabaya berdiri dan oleh siapa.
Dosen Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rojil Nugroho Bayu Aji adalah salah satu penggila bola (gibol) yang juga tergila-gila dengan sejarah sepakbola di Surabaya.
Ia paparkan perjalanan panjang sepakbola di Surabaya yang sudah dimulai sejak era kolonial. Pada era itu, kata dia, sepakbola di Surabaya terkendala dengan akses infrastruktur.
"Misalnya Semarang, Solo, Batavia (Jakarta), Surabaya, hingga Yogyakarta. Kita harus memahami keterbatasan infrastruktur dan hubungan daerah serta kemajuan pembangunan saat itu tidak semaju sekarang," kata Rojil kepada detikJatim, Jumat (17/6/2022).
Sebelum Indonesia memasuki era kemerdekaannya, klub-klub sepakbola di bumi pertiwi tak sebanyak sekarang. Hanya ada sejumlah klub yang mewakili kota-kota besar saja. Terutama kota di Pulau Jawa.
"Pertandingan antarkota saat itu perwakilannya tidak banyak. Misalnya, di agenda PSSI antarkota kala itu diselenggarakan oleh 7 klub pendirinya, seperti di Magelang, Jogja, dan Semarang," ujarnya.
Ia mengatakan, pada era kolonial populasi tim sepakbola tidak seperti saat ini. Ada sekat-sekat yang menggolongkan ras, mulai dari terendah yakni Bumiputera, kemudian Eropa, hingga Timur Asing (Arab dan Tionghoa) yang mulai masuk ke dalam olahraga sejak diberlakukan pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19.
Klub pertama yang berdiri di Surabaya saat itu adalah Victoria. Klub itu berdiri pada 1895 silam, diprakarsai oleh 'empunya' Hoogere Burger School (HBS), John Edgar. Lambat laun, sejumlah klub sepakbola bermunculan dan semakin berkembang. Begitu pula dengan klasifikasi pertandingan dalam sepakbola.
Rojil memaparkan, saat itu ada 3 organisasi sepakbola. Ketiganya terbagi berdasarkan pembagian kelas masing-masing dan saling menggelar kompetisi untuk menjadi yang terbaik sehingga tak jarang berselisih.
Saking sengkarutnya persepakbolaan kala itu membuat sebagian di antara organisasi itu memutuskan untuk memboikot sepakbola Belanda yang mengeluarkan aturan-aturan rasialis. Pemboikotan mencuat ketika akan digelar putaran final perebutan gelar juara kompetisi antarkota atau Stedenwedstrijden di Surabaya pada 13 hingga 16 Mei 1932.
"Saat itu, ada wartawan d'Orient yang rasis dan menjadi penasihat NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond- induk organisasi sepakbola Hindia Belanda yang berdiri sejak 1919). Jadi NIVB melarang orang-orang atau wartawan berwarna (untuk datang meliput)," tuturnya.
Berwarna yang dimaksud meliputi semua etnis. Baik Tionghoa hingga Bumiputera. Larangan itu juga berlaku untuk awak media yang biasa meliput sepakbola Belanda. Kebijakan itu pun menuai banyak kritikan dan nyinyiran dari masyarakat. Terutama kalangan pewarta surat kabar kala itu sehingga hampir semua orang dan klub kala itu tidak terima.
"Akhirnya, mereka melakukan boikot, tidak diberitakan, tidak boleh dihadiri," katanya.
![]() |
Merasa menjadi korban diskriminasi dan kebijakan rasialis, warga Tionghoa dan Bumiputera pun tak mau kalah dengan orang Eropa hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan klub masing-masing. Sebagai contoh, berdiri lah klub bernama Tiong Hoa Soerabaja pada 1914 silam.
Merasakan hal serupa, Bumiputera juga mendirikan klub sepakbola yang dinakhodai Paidjo dan Pamoedji bernama Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB) yang berdiri pada 18 Juni 1927.
Klub itulah yang sempat berubah nama menjadi Persatuan sepakbola Indonesia Soerabaja (Persibaja) kemudian pada 1959 berubah menjadi Persatuan sepakbola Surabaya (Persebaya) hingga sekarang.
"Mereka bersama-sama membuat sepakbola tandingan. Intinya diboikot dan dibuat sepakbola tandingan dengan mengundang klub-klub lain mengadakan eksibisi dengan orang-orang pergerakan saat itu. Otomatis pertandingan NIVB enggak payu (tidak laku) dan lebih menarik nonton sepakbola tandingan itu," ujar dia.
Pemboikotan yang diinisiasi Pemred Koran Sin Tit Po, Liem Koen Hian dan Comité van Actie Persatoean Bangsa Asia itu lantas diketahui masyarakat Surabaya. Kabar itu merebak lewat surat kabar ke tangan golongan Bumiputera, Tionghoa, hingga Arab.
Alhasil, khalayak enggan menyaksikan pertandingan dalam putaran final Kampioenswedstrijden pada 1932. Akibatnya, NIVB dan SVB merugi karena sepi penonton meski tuan rumah menjadi jawara usai mengungguli para rivalnya.
"Tiket hasil pertandingan (tandingan) dibuat untuk amal, karena sifatnya ada tandingan, jadi sudah digaris dan benar-benar untuk perjuangan, termasuk respon bahwa mereka rasis terhadap orang-orang non Eropa kala itu," tutur dia.
Pada tahun 1932 itu pula para pemboikot justru bisa 'mengambil' massa. Bahkan Lapangan Quick Pasar Turi penuh sesak oleh penonton yang antusias menonton laga eksebisi Tim 'Selection' Bumiputera kontra Tionghoa-Arab serta Indonesia Marine vs Arabisch XI.
"Nah itulah dinamika yang terjadi di era kolonial dan pascakolonial. Semua bergabung dengan Persebaya di Surabaya, kalau di Jakarta ya VIJ, kemudian jadi Persija," kata dia.
SVB sendiri adalah persatuan sepakbola Belanda yang memiliki kompetisi di dalam internalnya sendiri.
"Klub yang dibentuk oleh Belanda bukan berarti semua londo, tapi ada orang Indo'nya dan Bumiputera, yang memiliki strata di masyarakat. Mereka ini para elit dan bukan orang biasa," lanjut dia.
Sementara, NIVB sendiri adalah induk organisasi sepakbola milik orang Belanda di Indonesia
"Nah kalau sekarang itu ya seperti PSSI. Misalnya mengompetisikan 7 klub. Semakin hari semakin kuat kemudian muncul lainnya dan kian kompetitif. Setelah kemerdekaan kemudian ada liga-liga turunannya. Tapi, kalau untuk sepakbola Belanda sudah ada kelas-kelasnya juga," tutupnya.
Simak Video "Kesan Warga Naik Feeder Wira-Wiri Suroboyo: Ada AC-Nyaman-Hemat"
[Gambas:Video 20detik]
(dpe/dte)