Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2024 diprediksi akan menjadi ajang pertarungan sengit dalam merebut suara warga Nahdlatul Ulama (NU), Nahdliyin. Mengingat, basis NU di wilayah ini tak bisa dipandang sebelah mata.
Kandidat-kandidat yang berlaga, baik petahana maupun penantang, dipastikan akan berlomba-lomba meraup dukungan dari Nahdliyin. Sebab, Nahdliyin disebut memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu.
Khofifah Indar Parawansa yang merupakan petahana, memiliki basis massa yang cukup besar di Muslimat NU, organisasi yang mewadahi perempuan NU. Khofifah merupakan Ketua Umum Muslimat NU selama beberapa periode.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para penantang pun seolah sengaja menggandeng Nahdliyin untuk memecah suara. Hal ini dilakukan PDIP hingga PKB.
Hadirnya Luluk Nur Hamidah yang merupakan Ketua DPP PKB dan Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans yang diusung mendampingi Tri Rismaharini (Risma), memungkinkan untuk memecah suara sang petahana Khofifah Indar Parawansa.
Pengamat politik Universitas Brawijaya Prof Anang Sujoko mengatakan, langkah PKB mengusung pasangan calon tanpa PDIP membuat peta politik baru diperlihatkan dalam kontestasi Pilgub Jawa Timur. Namun, kedua parpol tersebut mengusung figur yang mampu sedikit mengganggu lumbung suara Khofifah, terutama di kalangan Nahdliyin.
"Saya melihat peta politik baru ada Luluk-Lukman, Bu Risma-Gus Hans, paling tidak akan menggoyah puncak dari elektabilitas Bu Khofifah dan Emil. Karena pendukung dari Bu Khofifah nanti akan kemungkinan terganggu oleh grass root PKB, dan juga beberapa kalau kita lihat dari grass root Gus Hans, memiliki area yang sama dengan pendukung Bu Khofifah," ujar Anang saat berbincang dengan detikJatim, Jumat (30/8/2024).
"Di sini kita melihat bahwa representasi Nahdliyin, Muslimat, itu menjadi sebuah area untuk berkompetisi di antara mereka bertiga," imbuhnya.
Akan tetapi, lanjut Anang, jika melihat peta pendukung masing-masing calon sekaligus kehadiran mesin politik, memang mesin politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yang berada di Jawa Timur, masih menghadirkan sebuah kekuatan besar.
Dengan begitu, Khofifah-Emil dapat diprediksi memiliki elektabilitas lebih tinggi dibandingkan dua pasangan calon lainnya.
Menurut Anang, tinggal bagaimana mesin politik PDIP dan PKB akan bekerja maksimal dalam beberapa pekan ke depan, dalam memenangkan pasangan calon yang diusung.
Baca juga: Khofifah dan Gus Hans: Dulu Kawan Kini Lawan |
"Karena kalau kita perhatikan, kemungkinan Bu Risma tidak akan sekuat ketika menjabat Wali Kota Surabaya. Artinya, dukungan masyarakat Surabaya belum tentu secara utuh masuk ke Bu Risma," tutur Anang.
"Kenapa? Yang pertama, masa setelah tidak menjabat atau ketika Bu Risma menjabat menteri, itu paling tidak sudah menjauhkan dari popularitas beliau (Bu Risma) di masyarakat Surabaya. Selain itu, bahwa Pilgub Jawa Timur ini menghadirkan kontestasi level provinsi. Jadi, ini tantangan bagi PDIP, apakah kemudian mesin-mesin politik, para relawan mereka masih mampu menjaga konstituen yang ada," sambung dosen FISIP UB ini.
Anang menambahkan, kehadiran tokoh-tokoh di balik partai koalisi yang mengusung Khofifah dan Emil masih relatif kuat apabila dibandingkan kehadiran tokoh-tokoh yang berada di kubu Luluk-Lukman dan Risma-Gus Hans.
"Sekali lagi, timnya Bu Risma di luar Surabaya, yang kemungkinan banyak mengandalkan kader-kader loyalis PDIP dan juga loyalis-loyalis dari Gus Hans," imbuhnya.
Anang Sujoko melihat keputusan PKB untuk mengusung Luluk Nur Hamidah sebagai bakal calon Gubernur Jawa Timur, menunjukkan posisi partai pengusung yang tengah menghadapi ujian dengan PBNU yang juga memiliki basis organisasi lumayan kuat.
"Mengenai Bu Luluk, saya bukan memposisikan sebuah pesimistis dari PKB. Karena dalam beberapa hal, PKB sedang diuji dengan PBNU yang memiliki basis organisasi yang cukup lumayan kuat, melalui PWNU dan PCNU. Kalau ini tidak terselesaikan di level kiai, maka agak sulit posisi Bu Luluk dan pasangan untuk bisa bersaing," pungkas Anang.
(irb/hil)