Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) me-reshuffle menteri di kabinet Indonesia maju dinilai sarat politik. Karena masa kepemimpinan Jokowi terhitung selesai kurang dari 2 bulan.
Pengamat politik Universitas Brawijaya Profesor Anang Sujoko melihat kebijakan Presiden Jokowi dalam menata kabinet Indonesia maju, sudah bergeser jauh dari yang didengungkan saat terpilih pada Pilpres 2014 lalu. Dengan membangun kabinet kerja yang ramping dan profesional. Meskipun, pergantian menteri merupakan hak prerogatif seorang presiden.
"Secara profesional memang penggantian menteri dalam posisi ini adalah hak prerogatif presiden dalam memilih untuk memastikan kinerjanya berjalan dengan bagus. Bahkan di detik-detik dan bulan terakhir hak preogratif itu bisa dilakukan untuk memastikan kinerja tercapai," kata Anang kepada detikJatim, Rabu (21/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun dalam kasus ini saya melihat bahwa penggunaan hak prerogratif itu tidak seperti yang didengungkan pada saat 2014 Jokowi terpilih pilpres untuk membangun kabinet yang ramping dan profesional," imbuhnya.
Dengan begitu, Anang melihat adanya reshuffle kabinet dilakukan menjelang masa akhir jabatan Presiden Jokowi sangat kental dengan kepentingan politik. Ia lalu menyebut hal itu dilakukan untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan kekuasaan usai lengser.
Bahkan, Anang menduga reshuffle lahir karena adanya kompromi antara Presiden Jokowi dengan presiden terpilih di Pilpres 2024 lalu.
"Nah kondisi saat ini saya melihat bahwa kepentingan politis untuk memastikan keamanan keberlanjutan kekuasaan Jokowi pasca lengser itu sangat kental sekali atau bahkan ini sebagai kompromi antara presiden terpilih dengan presiden saat ini dalam memastikan arah pemerintahan ke depan yang dikehendaki dalam skenario mereka," terang Anang.
Menurut Anang, penggantian seorang menteri seharusnya berbasis kepada kinerja. Bukan malah memposisikan menteri yang cenderung buruk justru ditempatkan di posisi yang lebih bagus. Hal itu seperti terpotret kepada Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia yang kini di posisikan sebagai Menteri ESDM.
"Namun menjadi sorotan adalah para menteri kinerjanya tidak baik justru diposisikan pada tempat-tempat lain yang lebih bagus misalkan menteri investasi sudah gagal dalam mendatangkan investor di IKN dalam membangun IKN dan berimplikasi pada penyerapan anggaran APBN yang jauh lebih tinggi. Tetapi kemudian nasibnya lebih baik dibanding Yasonna ketika membaca proses reshuffle, saya melihat cenderung menilai untuk kepentingan sangat politis keamanan dan keberlangsungan kekuasaan jokowi pasca lengser," tutur Anang.
Anang menambahkan, posisi Menteri Hukum dan HAM memang dibilang cukup strategis. Apalagi nanti ada proses yang terjadi dalam internal partai politik, misalkan musyawarah nasional (munas) atau musyawarah besar yang menyangkut agenda-agenda pergantian pengurusan partai politik.
"Tentu saja ketika bicara posisi di Menkumham itu sangat strategis dalam berbicara pasca nanti ada proses proses yang terjadi dalam internal partai politik, seperti munas atau musyawarah besar yang menjadi ajang penggantian kepengurusan partai politik," tegasnya.
(abq/iwd)