Salak kersikan yang tumbuh lebat di Desa Kersikan, Kecamatan Gondangwetan, semakin dikenal luas dan tercatat sebagai salah satu identitas alam Kabupaten Pasuruan. Buah yang kerap disebut salak gula pasir ini bukan hanya jadi buah meja, melainkan simbol warisan lokal yang menopang ekonomi petani setempat.
Nama salak kersikan sudah akrab di telinga warga Pasuruan. Kulitnya bersisik seperti ular, dengan daging buah renyah dan berair serta rasa manis sedikit asam yang khas, membuatnya punya banyak penggemar.
Dilansir dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Pasuruan, salak ini tumbuh subur di hamparan kebun warisan berusia puluhan tahun, sehingga ketersediaannya tetap stabil meski pengelolaannya masih mengandalkan kearifan lokal petani.
Produksi dan Pola Jual Unik
Petani di Desa Kersikan memiliki pola tanam dan panen yang khas. Pohon salak umumnya berbuah dua kali dalam setahun, yakni pada bulan Juli dan Desember. Setiap pohon mampu menghasilkan rata-rata sekitar 10 kilogram buah layak panen.
Teknik pembuahan tradisional seperti mengawinkan bunga jantan dan betina masih menjadi kunci utama agar pohon berbuah lebat. Menariknya, pemasaran salak kersikan kerap dilakukan langsung di kebun.
Banyak pembeli datang pada akhir pekan untuk membeli hasil panen langsung dari pohon. Harga yang diberlakukan petani pun berbeda dari pasar umum, bukan per kilogram, melainkan per 100 butir, dengan kisaran harga tergantung ukuran dan kualitas buah.
Praktik jual beli seperti ini menunjukkan relasi langsung antara petani dan konsumen lokal, sekaligus membuka peluang pengembangan model wisata pertanian (agritourism) yang berkelanjutan.
Kebun Luas dan Upaya Menambah Nilai Ekonomi
Luas perkebunan salak di Desa Kersikan tidak bisa dipandang remeh. Berbagai catatan pemberdayaan menyebutkan area kebun mencapai puluhan hektar dengan potensi produktivitas yang besar.
Upaya diversifikasi hasil olahan seperti manisan, keripik, minuman, hingga pemanfaatan kulit dan biji salak telah dilakukan oleh kelompok masyarakat dan mahasiswa. Inisiatif ini bertujuan meningkatkan nilai ekonomi, menjadikan salak bukan hanya buah konsumsi, tetapi juga komoditas olahan bernilai tambah.
Namun begitu, salak kersikan menghadapi beberapa tantangan. Kandungan air yang tinggi membuat umur simpannya relatif singkat, buah matang biasanya hanya bertahan beberapa hari jika tidak segera diolah.
Kondisi ini menjadi kendala dalam memperluas jangkauan pasar tanpa penanganan pascapanen yang baik. Selain itu, keterbatasan akses ke pasar modern dan skala produksi yang tersebar membuat pemasaran massal masih cukup menantang.
Peluang Wisata Pertanian
Pemerintah daerah bersama pelaku lokal memiliki peluang besar untuk menjadikan salak kersikan sebagai ikon agraris dan produk khas Kabupaten Pasuruan. Konsep wisata kebun, panen pengalaman, hingga festival salak dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Kehadiran video dan liputan yang beredar di platform media sosial juga semakin menempatkan salak kersikan di peta kuliner dan wisata lokal, sehingga membantu memperluas promosi tanpa batas geografis.
Dengan pengelolaan yang tepat, dukungan pembinaan, serta strategi pemasaran dan hilirisasi yang terarah, buah bersisik ini tidak hanya akan mempertahankan statusnya sebagai flora resmi, tetapi juga menjadi penggerak kesejahteraan bagi masyarakat Gondangwetan dan sekitarnya.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
Simak Video "Video CCTV: Aksi Dua Emak-emak Curi Sarung Seharga Rp 8 Juta di Pasuruan"
(irb/hil)