Sebanyak 30 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya ikut tren kabur aja dulu dengan versi yang berbeda, mereka tak ingin semata meninggalkan Tanah Air. Akan tetapi mengikuti program internasional Learning Express dan TF Scale di Singapura.
Tak sendirian, mereka juga berkolaborasi bersama mahasiswa dari Singapore Polytechnic.
Wakil Rektor Bidang Riset, Kerja Sama, dan Digitalisasi UM Surabaya, Radius Setiyawan mengatakan, mahasiswa UM Surabaya memilih jalur berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gerakan mahasiswa tidak hanya diwujudkan melalui demonstrasi atau kritik, tetapi juga lewat upaya belajar, berjejaring, dan memberi kontribusi nyata," ujar Radius, Minggu (7/9/2025).
Ia menyebut, para mahasiswa 'kabur' untuk mencari perspektif baru dan pengalaman global yang bakal dibawa pulang ke Tanah Air.
"Mahasiswa tetap harus menjadi agent of change dan agent of control, tapi juga menjaga spirit belajar dalam lingkup global," jelas Radius.
Menariknya, program ini bersifat dua arah. Akhir September nanti, giliran mahasiswa dari Singapore Polytechnic yang akan 'menyeberang' ke Surabaya untuk melakukan pengabdian masyarakat. Lokasinya akan dilaksanakan di kawasan Keputih, Surabaya.
"Mahasiswa bukan hanya belajar di luar negeri, tetapi juga bisa menularkan praktik baik di lingkungan sekitar kita," imbuh Radius.
Lebih lanjut, Kepala Lembaga Riset, Inovasi, dan Pengabdian Masyarakat (LRIPM) UM Surabaya, Arin Setyowati menjelaskan bahwa tahun ini tema yang diangkat adalah 'Healthcare for the Elderly' alias fokus pada kesehatan lansia. Mahasiswa akan menerapkan metode design thinking untuk menyusun solusi atas problem sosial di Singapura.
Rangkaian aktivitasnya lengkap mulai dari kelas, diskusi, observasi lapangan, sampai wawancara bareng komunitas lokal. Mahasiswa dari UM Surabaya dan Singapore Polytechnic akan kerjasama mencari solusi kesehatan fisik hingga mental bagi lansia.
"Mahasiswa UM Surabaya bersama mahasiswa Singapore Polytechnic akan berkolaborasi menciptakan solusi inovatif bagi kebutuhan lansia, baik di bidang kesehatan fisik maupun mental," bener Arin.
Singapura sendiri menjadi inspirasi sebab perhatiannya terhadap lansia cukup besar, mulai dari kesempatan kerja hingga fasilitas publik yang ramah usia. UM Surabayajuga sudah punya beberapa inovasi teknologi yang bisa ditawarkan.
Ada Sejiwa alat deteksi tingkat stres pada lansia. Cara kerjanya dengan deteksi keringat di jari dan pantau detak jantung. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk menentukan kondisi emosional, mulai dari rileks, cemas, sampai stres tinggi.
Ada juga EmoSafe, platform kesehatan mental yang bantu pengguna mengelola emosi dan melatih napas agar tetap tenang.
"Harapannya teknologi ini bisa dikolaborasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lansia di Singapura," kata Arin.
Salah satu peserta program, Rahma Nur Aini, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UM Surabaya turut mengungkapkan bahwa ia sudah mempersiapkan diri dengan ikut kursus bahasa dan kelengkapan administrasi.
"Harapannya, pengalaman ini bisa membuka peluang beasiswa, ide penelitian, hingga topik skripsi," ungkapnya.
(auh/hil)